Akhwatmuslimah.com –
“Dan mereka berkata: ‘Hati kami tertutup’. Tetapi sebenarnya Allah telah mengutuk hati mereka karen keingkaran mereka. Maka sedikit sekali mereka yang beriman.” (QS Al-Baqarah [2]:88)
Sikap suka memvonis diri bertolak belakang dengan tawadlu untuk membuka diri terhadap dakwah. Ketika dakwah Rasulullah ditanggapi kaum Yahudi dengan “Saya tidak mungkin mampu menerima da’wah ini, karena hati saya sudah tertutup” berarti mereka bukan saja jauh dari hidayah Al-Qur’an bahkan Allah Swt melaknat sikap kufur tersebut dan mereka jauh untuk menjadi manusia yang beriman.
Berinteraksi dengan Al-Qur’an, apapun bentuknya – bertilawah, menghafal, mentadabburkan, mengajarkan atau memahaminya – tanpa didukung oleh keimanan yang memadai akan menyebabkan jiwa merasa berat, susah, repot, dsb. Keimanan yang telah Allah karuniakan kepada kita hendaknya dijadikan modal utama untuk dapat hidup bersama Al-Qur’an.
Ungkapan-ungkapan bernada pesimis yang keluar di alam bawah sadar kita akan menjadi suatu vonis yang “mematikan” dan menjadikan diri kita berada di dalam kondisi kelemahan total. Jangankan untuk melakukan upaya berinteraksi dengan Al-Qur’an, sekedar keinginan saja tidak mungkin terjadi dalam diri kita sekalipun kita sudah beriman.
Kita harus optimis dan membantah ungkapan-ungkapan tersebut agar keluar dari kungkungan ketidakberdayaan diri yang sesungguhnya berasal dari diri kita sendiri. Berikut contohnya:
1. Bantahan terhadap vonis diri: “Ah, ana sih tidak bakat”
Berinteraksi dengan Al-Qur’an bukan masalah bakat atau tidak bakat. Ia adalah kebutuhan hidup orang beriman, sebagaimana tubuh butuh makan, minum dan tidur. Bakat biasanya berkaitan dengan keterampilan seperti menjahit, atau olah raga seperti juara bulutangkis. Mustahil kalau kita tak siap shalat 5 waktu dan tidak shaum karena alasan tidak bakat. Permasalahan sesungguhnya biasanya terkendala oleh pola pikir yang salah sehingga menghasilkan penyikapan yang salah pula.
2. Bantahan terhadap vonis diri: “Ah, ana sih memang ditakdirkan gak bakalan mampu menghafal”
Takdir adalah kehendak Allah Swt. Dari mana kita tahu bahwa Allah Swt telah menghendaki kita untuk tidak dapat berinteraksi dengan Al-Qur’an? Kalau hanya dari perasaan, itu artinya berburuk sangka kepada Allah Swt. Seharusnya syaitan yang kita jadikan kambing hitam, dan kita berlindung kepada Allah dari godaan syaitan. Atau kemungkinan lain, karena kita terlalu banyak dosa dan jiwa kita terlalu jauh dari kesucian. Jika itu penyebabnya, bertaubat dan mohonlah ampunan kepada Allah Swt. Lengkapilah dengan banyak berdzikir dan beramal shalih agar Allah Swt memberi kekuatan kepada diri kita untuk bisa mengatasi rasa malas, futur dan tak bergairah terhadap Al-Qur’an.
3. Bantahan terhadap vonis diri: “Bagaimana mungkin orang seperti ana yang sibuk seperti ini bisa menghafal Al-Qur’an”
Allah Swt menciptakan manusia dengan dibekali kemampuan yang sangat luar biasa untuk beradaptasi terhadap kehidupan. Artinya, sesibuk apapun kita, kalau kita mau dan bertekad kuat, insya Allah kita bisa melakukannya. Sudahkan kita mengakui bahwa berinteraksi dengan Al-Qur’an adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini? Kalau jawabannya ‘ya’ tetapi kita belum melakukannya artinya ada ketidaksesuaian antara hati dan lidah, entah hati yang berbohong atau lidah yang tak jujur.
Kita pasti akan menyempatkan diri untuk sesuatu yang kita anggap penting. Kalau menunggu “kalau sempat”, syaitan tak akan pernah membiarkan diri kita untuk sempat berinteraksi dengan Al-Qur’an. Kitalah yang harus menyempatkan diri, minimal 40 menit dari 24 jam per hari agar kita bisa khatam tiap bulan sekali.
Kalau kita mengakui kebenaran bantahan di atas, mulailah dari sesuatu yang paling mudah untuk dilakukan. Misal tilawah 5-10 halaman per hari, menghafal 1-1/2 halaman per pekan. Lalu perbanyaklah doa agar Allah Swt menolong kita untuk mampu dan bisa berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan pola yang sebaik-baiknya. Semoga Allah Swt. melindungi kita dari hati yang dikunci mati karena kekafiran. [ ]
===
Sumber : mengenalalquran