Akhwatmuslimah.com – Karena diskusi dengan beberapa ibu di sekitar terkait manajemen keuangan….berikut saya sampaikan tangkapan saya:
1. Besar pasak daripada tiang, melanda keluarga muda dan sering nombok melalui pinjaman di bank, kartu kredit, atau …sadly rentenir.
2. Orangtua berusia matang yang memaksakan diri mengikuti kehendak anak untuk barang bermerek. Katanya, anaknya akan malu jika tidak sama dengan anak seusianya.
Dari sejak awal menikah, prinsip saya dengan suami, hidup dalam budget…dalam rentang yang dimungkinkan penghasilan. Jika penghasilan tiga juta, maka kehidupan diupayakan di bawah jumlah itu. Pilihannya, jalan kaki, masak sendiri, ragam masakan yang disesuaikan anggaran harian (tahu, tempe, dsb). Ayam sekali sepekan.
Selalu dihitung pengeluaran ‘rutin tapi berkala’, misal anak masuk sekolah. Karena menargetkan anak masuk sekolah swasta tertentu dengan biaya tertentu, maka kami membagi biaya tersebut, dan menyebarkannya selama setahun. Jumlah itu tidak boleh diganggu gugat.
Tentu saja ada anggaran infaq (dikeluarkan sebelum yang lain). Adagiumnya, semakin sulit rasanya hidup ini, semakin keras memaksakan diri berinfaq.
Setelah itu, menanamkan pada anak bahwa nilai mereka bukan dari merek HP, baju, sepatu yang mereka kenakan. Mereka sangat berharga karena mereka anak kita cinta, yang mencintai Allah dan dicintai Allah. Ungkapkan cinta itu dengan berbagai cara. Pelukan, pujian, harapan.
Lalu, memberikan contoh pada anak bahwa kepercayaan diri kita tidak pernah kita sandarkan dari hal-hal yang bersifat materi. Anak akan cepat menangkap contoh orangtuanya. Jika ibunya cuek saja menggunakan sandal jepit ke mesjid saat idul fitri, maka mereka pun cuek dengan hal itu. Jika mereka lihat ayahnya biasa saja menggunakan batik usia tiga tahun ke sholat id, maka mereka juga pede saja dengan baju yang di-‘recycled’.
Apalagi jika ortu punya sikap bangga akan ‘semakin tua baju, semakin berharga’. Tak peduli warna dan bentuknya biasa bagi anak-anak di sini, baju yang tertua sekarang dipakai yang termuda. (Makanya jangan heran jika pernah melihat Ibrahim pakai celana merah jambu…hihih itu celana Wafa…Itu juga barangkali kenapa Ibrahim tidak ‘alergi’ warna yang dinisbatkan sebagai warna feminin). Kami juga membiasakan, jika mereka tidak menggunakan lagi, maka kita sisihkan untuk keluarga teman-teman yang membutuhkan. Menerima yang second hand (beli atau lungsuran) adalah biasa, memberikan yang second juga wajar saja. Yang penting, fungsi barang masih baik.
Lalu tekankan kepedean pada hal-hal yang bersifat ukhrawi. Berapa kali khatam Quran, berapa besar usaha berinfaq, dsb dsb. Bahagialah jika Allah berikan kesempatan untuk itu….sedihlah jika hidup berlalu tanpa hal-hal di atas..
Apalagi ya?
Jangan pernah bermimpi membayar hutang dengan berhutang. Ini kasus yang sering saya jumpai pada keluarga muda. Mereka berpikir, usaha yang sedang mereka rintis satu ketika akan membayar kelebihan pengeluarannya. A BIG NO. Jika ingin ‘rileks’ dalam mengikat pundi uang (alias sesekali beli cake di atas seratus ribu), maka kencangkan dulu ikat pundi uang….Andai sudah berhasil menumpuk sekian rupiah, silahkan keluarkan untuk hal ekstra itu.
Teman-teman dekat di Inggris tahu persis keluarga saya pernah mengalami masa saat penghasilan bulanan tidak cukup membayar bill rutin (rumah, listrik dan gas). Sebelumnya, kami sudah menabung untuk masa paceklik (beasiswa habis). Saat musim kering itu tiba, maka seluruh item pengeluaran diperiksa dan dipastikan belanja barang/makanan termurah. Menu dipilih yang paling sederhana walau tetap masuk kategori sehat. Ikan diganti dengan kepala ikan. Masih ada proteinnya. Yoghurt sama sekali dicoret, cukup susu segar saja. Ayam beli bagian sayapnya (paling murah), dst.
Sampai saat ini, keluarga di bukit Tanjungsari ini sepakat sepatu, baju, tas mestilah berharga di bawah Rp 100.000. Baju koko mereka harganya Rp 35.000, sepatu Ibrahim Rp 40.000, batik Abi Rp 50.000. Hanya baju gamis Wafa dan Umi saja yang di atas budget. Tapi, itu ada unsur memajukan bisnis sahabat juga.
Sesekali membeli barang di luar kebiasaan….Sesekali. Semoga membantu.
*Sampai saat ini belum berhasil menggolkan persetujuan membeli HP cerdas dengan budget sesuai kebutuhan jurnalis lapangan. Hiks.
=========
Sumber : Ustzh Maimon Herawati.