Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
QS. al-Mulk (67) : 15
Islam sebagai agama yang syumuliyah (integral), tidak hanya mengutamakan aspek ibadah ukhrawi saja, akan tetapi juga memperhatikan aspek duniawi. bahkan mencari nafkah yang sebagian orang berpendapat urusan duniawi dan tidak bernilai ibadah, bahkan Allah swt secara khusus memerintahkan hambanya untuk berjalan, berpetualang dan bekerja di muka bumi dalam rangka mencari rejekinya. Bumi ini telah Allah mudahkan, telah Allah tundukan agar manusia memanfaatkan untuk kesejahteraannya, bekerja untuk mencari rejekinya dan berpenghidupan yang layak di muka bumi.
Syaikh Dr.Yusuf Qardhawi menulis kalimat “Qu’udul al-qaadiru ‘anil ‘amali haraamun”dalam bukunya Halal & Haram Dalam Islam, pada Bab Penghasilan. yang artinya: “Berdiam diri dari Bekerja Seseorang yang mampu berusaha dan Bekerja adalah Haram”. Mangkir dari mencari rejeki yang halal padahal dia berbadan sehat, kuat apalagi berpendidikan karena barangkali orang tua kaya dapat warisan, adalah perbuatan haram dalam pandangan Islam. berpangku tangan menunggu nasib tanpa berusaha adalah tindakan tercela, sementara tidak ada udzur. Allah tidak pernah menurunkan hujan emas atau perak dari langit.
Sebab Kemalasan
Seringkali ditemukan banyak muslim dalam usia produktif mensia-siakan potensi waktu , tenaga, fikiran dan kesehatannya dengan memilih menganggur daripada bekerja dengan bayaran atau pendapatan kecil. Dalam situasi krisis ekonomi sekarang ini, memang lapangan pekerjaan makin sedikit. jumlah PHK menjadi berita harian. Dari pekerjaan yang sedikit ini bayarannya kadang-kadang tidak sesuai dengan effort atau usaha yang dikeluarkan. Memilih menganggur dengan menyibukkan diri mencari dan mencari lowongan pekerjaan yang “sesuai” keinginan adalah fenomena sering kita temui. Berapapun penghasilan yang didapatkan dengan keringat sendiri itu jauh lebih mulia dan lebih baik dari “santunan” orang tua atau pemberian kerabat dan saudara-saudara. Malas bekerja adalah penyakit. Malas bekerja karena penghasilan kecilpun adalah sama tercelanya dalam pandangan Islam. Mensia-siakan potensi waktu tenaga produktif. Lebih memilih menjadi beban orang lain adalah pilihan sangat buruk. Allah sudah memberikan potensi ilmu, tenanga, waktu dan masa muda untuk mencari rejekinya. Kesulitan dan kelelahan dalam mencari rejeki adalah bagian dari ibadah kepada Allah. berapapun hasilnya. betapapun sepele pendapatannya. Itu jauh lebih baik daripada menjadi beban dan tanggungan orang lain.
¨ “ Sesungguhnya apabila seseorang diantara kamu semua itu mengambil tambangnya kemudian mencari kayu bakar dan diletakkan diatas punggungnya, hal itu adalah lebih baik dari pada ia mendatangi seseorang yang telah dikarunai oleh Allah dari keutamaan-Nya, kemudian meminta-minta dari kawannya, adakalanya diberi dan ada kalanya ditolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sibuk Beribadah dan da’wah
Seringkali dijumpai pada masyarakat muslim, karena kesibukan da’wah atau karena rajin ibadah siang dan malam, sehingga nafkah untuk keluarganya menjadi beban saudara-saudaranya atau kerabatnya. Seringkali atas nama Ibadah dan Da’wah, seorang muslim dengan sadar meninggalkan aktivitas bekerja dan mencari penghasilan. Dan seolah-olah, ibadahnya atau aktivitas da’wahnya menjadi kafarat bagi kewajiban bekerja mencari nafkah dan penghidupan untuk keluarganya. Da’wah adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim sesuai kadar dan kemampuannya. Bekerja mencari penghidupan dan nafkah bagi keluarga adalah suatu kewajiban lain seorang muslim pula. Satu sama lain tidak saling menutupi. Dua-duanya harus dipenuhi. mengutamakan yang satu, melupakan yang lain adalah tindakan tercela dalam pandangan Islam.
Bersembunyi dibalik Tawakal
Islam tidak menganggap keengganan bekerja dan berusaha dengan mengharap rezeki dari arah yang tidak di sangka-sangka termasuk dari sikap tawakal, sebagaimana dipahami sebagian orang secara salah. Sebaliknya, Islam mengangap sebagai sikap Tawaakul (bergantung). Imam Ahmad telah meluruskan pemahaman yang salah ini ketika beliau ditanya, “Apa pendapat anda tentang seseorang yang hanya duduk di rumah dah di mesjidnya, kemudian dia mengatakan aku tidak bekerja hingga rejekiku datang?” Imam Ahmad menjawab: “Itu orang yang tidak tahu ilmu. Tidak ia mendengar Nab Saw bersabda: “Allah menjadikan rezekiku di bawah naungan tombakku.” Rezeki ada dalam wilayah ikhtiar manusia, sedangkan hasil usaha dan ikhtiar serahkan pada Allah swt. Itulah namanya tawakal.
======