Akhwatmuslimah.com – Memasuki pertengahan ramadhan beberapa dari kita mungkin baru menyadari betapa kurangnya ibadah yang kita lakukan di bulan suci ini. Apakah kita termasuk orang yang berhasil meraih keutamaan ramadhan atau justru kita termasuk orang yang gagal dalam menjalankannnya?
Telah disebutkan dalam salah satu hadits, Rasulullah bersabda “Berapa banyak orang yang berpuasa namun ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga…”. dari sini jelas sekali bahwa di bulan puasa ini kita tidak hanya dituntut untuk menahan lapar dan dahaga saja, tetapi lebih dalam ke arah spiritual dan membangun kepribadian diri yang kuat.
Memang hanya hak Allah untuk menilai ibadah hambanya, khususnya ibadah puasa. Namun kita juga bisa sedikit mengambil beberapa parameter untuk mengukur diri kita apakah kita termasuk orang yang bisa meraih keutamaan di bulan ramadhan. Beberapa tanda kegagalan menjalankan ibadah puasa adalah:
PERTAMA, ketika target pembacaan Al-Qur’an yang dicanangkan minimal satu kali khatam, tidak terpenuhi selama bulan ramadhan. Di bulan ini, pembacaan Al-Qur’an merupakan bentuk ibadah tersendiri yang sangat dianjurkan. Pada bulan inilah tersebut malam lailatul qadar.. Pada bulan ini pula Jibril as biasa mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. Orang yang berpuasa dibulan ini, sangat dianjurkan memiliki wirid Al-Qur’an yang lebih baik dari bulan-bulan selainnya. Kenapa minimal harus dapat mengkhatamkan satu kali sepanjang bulan ini? Karena itulah terget minimal pembacaan Al-Qur’an yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
KEDUA, Ketika berpuasa tidak menghalangi seseorang dari penyimpangan mulut seperti membicarakan keburukan orang lain, mengeluarkan kata-kata kasar, membuka rahasia, mengadu domba, berdusta dan sebagainya. Seperti yang sudah banyak diketahui, hakikat puasa tidak terletak pada menahan makanan dan minuman masuk masuk kedalam kerongkongan. Tapi puasa juga mengajak pelakunya untuk bisa menahan diri dari berbagai penyimpangan, salah satu yang dilakukan oleh mulut. Rasulullah SAW menyatakan bahwa dusta akan menjadikan puasa sia-sia. (HR. Bukhari).
KETIGA, ketika puasa tak bisa menjadikan pelakunya berupaya memelihara mata dari melihat yang haram. Mata adalah penerima informasi paling efektif yang bisa memberi rekaman kedalam otak dan jiwa seseorang. Memori informasi yang tertangkap oleh mata, lebih sulit terhapus daripada informasi yang diperoleh oleh indra yang lainnya. Karenanya, memelihara mata menjadi sangat penting untuk membersihkan jiwa dan pikiran dari berbagai kotoran. Salah mengarahkan pandangan, bila terus berulang akan menumbuhkan suasana kusam dan tidak nyaman dalam jiwa dan pikiran. Ini sebabnya mengapa Islam mewasiatkan sikap hati-hati dalam menggunakan nikmat mata. Apalagi di Indonesia fasilitas internetnya sangat mudah untuk diakses mengharuskan kita untuk menjaga pandangan sebaik mungkin. Puasa yang tak menambah pelakunya lebih memelihara mata dari yang haram, menjadikan puasa itu nyaris tak memiliki pengaruh apapun dalam perbaikan diri. Karenanya, boleh jadi secara hukum puasanya sah, tapi substansi puasa itu tidak akan tercapai.
KEEMPAT, ketika malam-malam ramadhan menjadi tak ada bedanya dengan malam-malam selain Ramadhan. Salah satu ciri khas bulan Ramadhan adalah, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menghidupkan malam dengan shalat dan do’a-do’a tertentu. Ibadah shalat di bulan Ramadhan yang biasa disebut shalat tarawih, merupakan amal ibadah khusus di bulan ini. Tanpa menghidupkan malam dengan ibadah tarawih, tentu seseorang akan kehilangan momentum berharga.
Telah dikisahkan bahwa para sahabat dahulu, berlomba untuk bisa melakukan shalat tarawih di belakang Rasulullah. Umar bin Kaththab bahkan beriztihad untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 rakaat, sehingga kaum muslimin lebih termotivasi untuk menghidupkan malam Ramadhan.
KELIMA, jika saat berbuka puasa menjadi saat melahap semua keinginan nafsunya yang tertahan sejak pagi hingga petang. Menjadikan saat berbuka sebagai kesempatan “balas dendam” dari upaya menahan lapar dan haus selama siang hari. Bila ini terjadi, berarti nilai pendidikan puasa akan hilang.
Puasa, pada hakikatnya, adalah pendidikan bagi jiwa (tarbiyatun nafs) untuk mampu mengendalikan diri dan menahan hawa nafsu. “Puasa itu adalah perisai”sabda Rasulullah SAW
Dari hadist Imam Bukhari. Hanya dalam puasalah, seseorang dilarang melakukan perbuatan yang sebenarnya halal dilakukan. Hasil pendidikan itu, akan tercermin dalam pribadi orang-orang yang lebih bisa bersabar, menahan diri, tawakal, pasrah, tidak emosional, tenang dalam menghadapi berbagai persoalan.
Puasa menjadi kecil tak bernilai dan lemah dalam unsur pendidikannya ketika upaya menahan dan mengendalikan nafsu itu hancur oleh pelampiasan nafsu yang dihempaskan saat terbuka.
KEENAM, ketika bulan ramadhan tidak dioptimalkan untuk banyak mengeluarkan infaq dan shadaqah. Rasulullah SAW seperti digambarkan dalam hadits, menjadi sosok yang paling murah dan dermawan di bulan Ramadhan. Di bulan inilah, satu amal kebajikan bisa bernilai puluhan bahkan ratusan kali lipat di banding bulan-bulan lainnya. Momentum seperti ini sangat berharga dan tidak boleh disia-siakan.
KETUJUH, ketika hari-hari menjelang idul fitri sibuk dengan persiapan lahir, tapi tidak sibuk dengan memasok perbekalan sebanyak-banyaknya pada 10 malam terakhir untuk memperbanyak ibadah. Lebih banyak berfikir untuk bisa merayakan idul fitri dengan berbagai kesenangan, tapi melupakan suasana akan berpisah dengan bulan mulia tersebut.
Rasulullah dan para shabat mengkhususkan 10 hari terakhir untuk berdiam didalam masjid, meninggalkan semua kesibukan duniawi. Mereka memperbanyak ibadah, dzikir dan berupaya meraih keutamaan malam seribu bulan, saat diturunkannya Al-Qur’an.
Pada detik-detik terakhir menjelang usainya ramadhan, mereka merasakan kesedihan mendalam karena harus berpisah dengan bulan mulia itu. Sebagian mereka bahkan menangis karena akan berpisah dengan bulan mulia. Ada juga yang bergumam jika mereka dapat merasakan Ramadhan sepanjang tahun.
KEDELAPAN, ketika Idul Fitri dan selanjutnya dirayakan laksana hari ”merdeka” dari penjara untuk melakukan berbagai penyimpangan. Fenomena ini sebenarnya hanya akibat dari pelaksanaan puasa yang tidak sesuai dengan adabnya. Orang yang berpuasa dengan baik tentu tidak akan menyikapi Ramadhan sebagai beban dan keterkungkungan.
KESEMBILAN, setelah ramadhan, nyaris tidak ada ibadah yang ditindaklanjuti pada bulan-bulan selanjutnya. Misalnya memelihara kesinambungan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal dan puasa-puasa sunah lainnya, shalat malam, membaca Al-Qur’an, ataupun bersedekah dan berinfak. Amal-amal ibadah satu bulan ramadhan, adalah bekal pasokan agar ruhani dan keimanan seseorang meningkatkan untuk menghadapi sebelas bulan setelahnya. Namun, orang akan gagal meraih keutamaan Ramadhan, saat ia tidak berupaya menghidupkan dan melestarikan amal-amal ibadah yang pernah ia jalankan dalam satu bulan di bulan ramadhan.
Akhir kata, marilah kita perbaiki diri kita di bulan ramadhan ini, dan kita tingkatkan kualitas kepribadian kita agar kita mampu meraih keutamaan bulan ramadhan.
Sumber : tirtakamandanu