Akhwatmuslimah.com – Tidak bisa dimungkiri bahwa kecantikan seorang wanita adalah pemikat hati dan dambaan setiap lelaki. Kecantikan yang lahir dari jiwa yang baik, taat beragama, dan berasal dari keturunan yang baik adalah karunia yang tak terlukiskan. Namun, terkadang kecantikan seorang wanita membuat mabuk orang yang melihatnya. seorang lelaki tidak lagi mengindahkan nilai agama, keturunan, dan Iain-lain dalam memilih calon istri. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam ketika ada seorang lelaki yang ingin memilih wanita yang cantik sebagai calon pasangannya?
PERLUNYA MEMPERHATIKAN KECANTIKAN CALON ISTRI
Seorang laki-laki yang akan mengarungi bahtera rumah tangga tentu memilih calon istri yang terbaik. Selain karena alasan bagus agamanya, faktor kecantikan juga perlu diperhitungkan karena sudah menjadi fitrah manusiawi bahwa jiwa itu senang jika melihat suatu yang indah, menarik, dan memesona.
Istri yang cantik akan membuat jiwa suami menjadi tenang, bahagia, dan lebih bisa menjaga kesucian dirinya. Oleh karena itu, balasan bagi seorang mukmin di surga nanti adalah para bidadari yang cantik jelita. Allah عزّوجلّ berfirman:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي مَقَامٍ أَمِينٍ . فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ . يَلْبَسُونَ مِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ مُتَقَابِلِينَ . كَذَلِكَ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada dalam tempat yang aman, (yaitu) di dalam taman-taman dan mata air-mata air, mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) berhadap-hadapan, demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari. (QS. ad-Dukhan [44]: 51-54)
Demikian pula hadits-hadits Nabi صلى الله عليه وسلم telah menunjukkan perlunya memperhatikan kecantikan wanita yang akan dipilih menjadi calon istri, di antaranya:
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah wanita yang bagus agamanya, niscaya engkau beruntung.“[1]
Hadits ini menunjukkan bahwa kecantikan adalah suatu runtutan yang dicari manusia.[2] Hadits ini sama sekali tidak melarang untuk mencari wanita yang cantik dalam memilih calon istri. Hadits ini telah memberikan isyarat bahwa umumnya manusia sangat memperhatikan masalah kecantikan, bahkan sampai ada yang mendahulukan kecantikan daripada bagusnya agama, dan ini yang tidak boleh.[3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata, “Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran berupa anjuran untuk menikahi wanita yang cantik. Kecuali, jika ada (dua orang wanita, salah satunya adalah) wanita cantik yang tidak bagus agamanya, sedang yang lainnya wanita yang lebih rendah kecantikannya tetapi bagus agamanya, maka yang bagus agamanya lebih didahulukan. Adapun jika nilai agamanya sama maka yang lebih cantik lebih didahulukan.”[4]
Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga bersabda:
خَيْرُ النِّسَاءِ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ
“Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkanmu jika kamu melihatnya.”[5]
Imam As-Sindi رحمه الله berkata, “Wanita yang menyenangkan bila dilihat yaitu karena kecantikannya yang tampak, atau karena akhlaknya yang bagus dalam dirinya yang selalu taat serta bertaqwa kepada Allah عزّوجلّ.”[6]
Dan Islam menganjurkan agar seorang yang akan menikah untuk terlebih dahulu melihat calon pasangannya (nazhar). Tujuannya tidak lain adalah agar tumbuh benih-benih cinta dan kasih sayang. Diriwayatkan bahwa Sahabat al-Mughirah رضي الله عنه akan meminang seorang wanita, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم berkata kepadanya:
انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihat (nazhar)lah calon istrimu karena hal itu akan lebih melanggengkan hubungan kalian berdua.“[7]
Suatu hari, ada seorang laki-laki yang datang memberi tahu Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita Anshar. Lalu Nabi صلى الله عليه وسلم berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah melihatnya?” Laki-laki itu menjawab, “Belum.” Maka Nabi صلى الله عليه وسلم berkata:
فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِى أَعْيُنِ الأَنْصَارِ شَيْئًا
“Pergi dan lihatlah, karena sesungguhnya pada mata kaum Anshar ada sesuatu.”[8]
Pengarang kitab Kasysyaful Qina’ mengatakan, “Dianjurkan untuk menikahi gadis dan dianjurkan juga untuk menikah dengan wanita yang cantik karena hal itu lebih membuat tenang bagi diri seorang lelaki, lebih bisa menundukkan pandangan, lebih sempurna dalam menjalin cinta. Oleh karenanya, dibolehkan melihat calon istri terlebih dahulu sebelum menikah.”[9]
BERTANYA TENTANG KECANTIKAN SEBELUM AGAMANYA!
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa memilih wanita yang cantik untuk pernikahan adalah sesuatu yang dituntut secara syar’i. Hal ini tentunya setelah kita mengetahui akan bagusnya agama calon istri yang akan kita nikahi.
Nah, bila seorang laki-laki mendapat tawaran menikah dengan seorang wanita, apakah yang pertama dia tanyakan agamanya dahulu ataukah kecantikannya dahulu? Imam Ahmad رحمه الله mengatakan, “Apabila seorang laki-laki ingin meminang seorang wanita maka hendaknya dia bertanya tentang kecantikan calon istrinya dahulu; jika kecantikannya dipuji maka barulah bertanya tentang agamanya; jika ternyata agamanya juga dipuji maka menikahlah dengannya (menikahnya karena alasan agamanya); jika agamanya ternyata tidak baik maka dia menolak menikah karena alasan agamanya. Kalau demikian maka jangan bertanya tentang agamanya dahulu; jika agamanya dipuji kemudian dia bertanya tentang kecantikannya; kemudian ternyata kecantikannya kurang maka dia menolak menikah karena alasan kecantikan bukan karena alasan agama.”[10]
KECANTIKAN BUKAN SEGALANYA
Pernikahan merupakan suatu ikatan suci antara dua insan yang berbeda. Sebab itu, sebelum melangkah lebih jauh hendaknya masing-masing pasangan memilih calon pendampingnya yang terbaik sebelum memutuskan untuk menikah. Kriteria yang telah dijelaskan oleh agama sudah jelas yaitu pilihan utama adalah agama karena agama yang baik akan membawa kebaikan di dunia dan akhirat. Maka pilihlah pasangan yang baik agamanya dan dari keturunan orang baik-baik. Jika punya kelebihan paras cantik atau ganteng maka hal itu adalah nikmat yang harus disyukuri. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ
“Pilihlah dengan cermat untuk benih anak-anak kalian, menikahlah dengan pasangan yang sepadan, nikahkanlah putri kalian kepada mereka.”[11]
Maka kecantikan wanita tidak bisa mengalahkan kriteria agama yang harus menjadi pilihan terdepan. Janganlah coba-coba memilih wanita yang cantik memesona tetapi agamanya rusak, karena hal itu akan membawa penyesalan yang tiada tara. Agama tetap menjadi prioritas utama, tetapi bukan berarti mengesampingkan kecantikan dan kriteria yang lain. Pahamilah!
Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga bersabda:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادَ
“Apabila seorang yang engkau ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu maka nikahkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya maka akan terjadi fitnah dan kerusakan di muka bumi.“[12]
Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa hendaknya tujuan utama untuk diperhatikan adalah agama dan akhlak dari seorang laki-laki dan wanita. Wajib para wali yang mengemban tanggung jawab untuk memperhatikan petunjuk yang telah diberikan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم karena mereka akan ditanya akan amanah ini pada hari Kiamat. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ
Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata: “Apakah jawabanmu kepada para rasul?” (QS. al-Qashash [28]: 65)[13]
Imam al-Ghazali رحمه الله berkata, “Apa yang kami jelaskan berupa anjuran untuk memilih agama, hal itu untuk memberikan pemahaman bahwa wanita tidak dinikahi karena kecantikannya saja. Hal ini bukan berarti menyepelekan kecantikan, melainkan maksudnya adalah waspada dari pernikahan yang hanya mengutamakan kecantikan saja padahal agama calon istrinya rusak. Karena, kecantikan seorang wanita pada umumnya akan membuat semangat untuk melangkah ke pelaminan dan akan memudahkan perkara agama juga.”[14]
KECANTIKAN ADA DUA MACAM
Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله berkata, “Tujuan menikah itu adalah untuk bersenang-senang dengan istri serta membangun keluarga yang shalihah dan masyarakat yang selamat. Atas dasar hal ini maka wanita yang layak dinikahi adalah yang bisa mewujudkan dua tujuan ini, yaitu wanita yang memiliki kecantikan lahir dan kecantikan batin. Kecantikan lahir adalah kesempurnaan fisik karena apabila seorang wanita itu cantik parasnya dan baik tutur katanya maka mata pun akan senang melihatnya, telinga akan senang mendengar tutur katanya, hari akan terbuka, dada akan terasa lapang, dan jiwa akan merasa tenang. Sehingga akan terwujud firman Allah عزّوجلّ:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum [30]: 21)
Adapun kecantikan batin adalah kesempurnaan agama dan akhlak. Semakin taat seorang wanita dalam agama dan semakin sempurna akhlaknya maka semakin disukai oleh jiwa. Wanita yang taat beragama melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ; menjaga hak-hak suami: hak ranjang, anak-anak, dan hartanya; membantu suami dalam menaati Allah عزّوجلّ: jika suami lupa maka ia akan mengingatkannya, apabila suami malas maka ia memompa semangatnya, dan apabila suami marah maka ia akan berusaha membuatnya tenang. Apabila mungkin untuk mendapatkan wanita yang cantik lahir dan batinnya maka inilah kesempurnaan dan kebahagiaan.”[15]
Allahu A’lam.[]
[1] HR. Bukhari: 5090 dan Muslim: 1466.
[2] An-Nawawi, al-Majmu’ 16/135.
[3] DR. Ali bin Abdirrahman, Ahkam an-Nazhar hlm. 23.
[4] Ibnu Hajar, Fathul Bari 9/134.
[5] HR. Thabarani dll. Lihat Shahih al-Jami’ no. 3299.
[6] Hasyiyah as-Sindi ‘ala Syarh an-Nasa’i 6/68.
[7] HR. Tirmidzi: 1087, Nasai: 3235, Ibnu Majah: 1866, Ahmad 4/144, Darimi 2/134. Lihat ash-Shahihah no. 96.
[8] HR. Muslim: 1427.
[9] Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Mufashshal fi Ahkam al-Mar’ah 6/47.
[10] Syarh Muntaha al-lradat 3/5.
[11] HR. Ibnu Majah: 1968. Hadits hasan (lihat ash-Shahihah no. 1067).
[12] HR. Tirmidzi: 1085, Ibnu Majah: 1967, Hakim 2/164. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah: 1022.
[13] Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 12/28.
[14] Ihya ‘Ulumuddin 2/35.
[15] Az-Zawaj hlm. 8.
[1] HR. Bukhari: 5090 dan Muslim: 1466.
[2] An-Nawawi, al-Majmu’ 16/135.
[3] DR. Ali bin Abdirrahman, Ahkam an-Nazhar hlm. 23.
[4] Ibnu Hajar, Fathul Bari 9/134.
Sumber : e-Book dari www.ibnumajjah.wordpress.com