Akhwatmuslimah.com – Kita semua pernah merasakan sebagai anak bagi kedua orang tua kita. Terlepas dari apakah sekarang kita telah berumah tangga dan telah memiliki anak atau bahkan cucu, maupun kita belum memilikinya. Yang pasti, kita telah berpengalaman bagaimana kehadiran kita di antara kedua orang tua benar-benar menambah kebahagiaan mereka. Dengan demikian benarlah bila anak disebut juga sebagai qurrata a’yun, yang berarti penyejuk pandangan mata bagi kedua orang tuanya. Dari pengalaman seperti itulah, kita yang telah berumah tangga begitu sangat mendambakan hadirnya seorang anak di tengah-tengah keluarga.
Selain itu memang Allah ‘Azza wa jalla telah menganugerahkan fitrah bahwa kita butuh kepada seorang pasangan agar beranak-pinak dan melanjutkan perjuangan ibadah kita kepada-Nya. Tidak hanya anugerah fitrah ingin hidup berumah tangga untuk melestarikan jenis manusia saja, namun Dia ‘Azza wa jalla juga memerintahkan agar pasutri senantiasa mengharap anak tatkala bersenang-senang bersama pasangannya. Dia ‘Azza wa jalla berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu (yaitu anak[1]).” (QS al-Baqarah: 187)
Sehingga wajar bila seluruh pasutri yang benar tujuan pernikahannya sangat berharap lahirnya anak mereka.
Namun, ternyata tidak seluruh pasutri dianugerahi seorang anak oleh Allah ‘Azza wa jalla. Bahkan jumlah pasutri yang belum memiliki anak setelah lama menikah, atau bahkan setelah mereka sama-sama tua pun tidak sedikit, meski tentunya pasutri yang dianugerahi anak oleh Allah ‘Azza wa jalla jauh lebih banyak. Meski begitu, tak jarang pula kita dapati keluhan kesedihan dari mereka yang sedikit ini perihal belumnya atau tidak memiliki anak.
Seluruh Kebaikan dan Keburukan Adalah Ujian
Sebagai insan beriman tentunya yakin bahwa apapun yang terjadi di alam ini tentu ada hikmahnya. Ada kebaikan di balik semuanya. Bila anak adalah hal baik di antara apa yang telah diusahakan oleh seseorang, tentu bila berhasil mendapatkannya merupakan kebaikan bagi seseorang. Dan seandainya seseorang dalam usahanya tidak memperoleh hasil, tentu tidak mesti merupakan keburukan. Mungkin memang buruk menurut kita, namun semuanya tentu mengandung hikmah yang baik pula. Sebab, kebaikan dan keburukan, termasuk punya anak maupun tidak, merupakan fitnah, ujian dari-Nya.
وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 35)
Seluruh Aktivitas Kita pun Ujian
Tatkala Allah ‘Azza wa jalla menganugerahkan seorang anak kepada salah satu pasutri, artinya Dia ‘Azza wa jalla hendak menambah aktivitas pasutri tersebut sebagai ujian. Demikian juga tatkala Allah ‘Azza wa jalla mencegah hadirnya seorang anak dari salah satu pasutri, pun agar Dia ‘Azza wa jalla melihat aktivitas mereka yang juga merupakan ujian. Jadi, bila kita mau mentadabburi apa yang kita lakukan sebagai aktivitas keseharian kita, baik dengan hadirnya anak maupun dengan ketidakhadirannya sekali-pun, sungguh tidak ada yang lepas dari makna sebuah ujian.
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. al-Mulk [67]: 2)
Makna ayat tersebut bahwa Dia ‘Azza wa jalla menciptakan seluruh makhluk dari tidak ada menjadi ada agar Allah ‘Azza wa jalla menguji mereka (supaya diketahui) siapa di antara mereka yang paling baik amalan (aktivitas)nya.[2]
Bila makna tersebut sedikit dijabarkan, maka Dia ‘Azza wa jalla hendak menguji manusia yang kaya dengan kekayaannya supaya kelak ditanya tentang syukurnya, yang fakir dengan kefakirannya supaya kelak ditanya tentang kesabarannya, yang dianugerahi anak dengan anak-anak keturunannya supaya kelak ditanya tentang tanggung jawabnya terhadap mereka, serta yang tidak dianugerahi anak dengan kesendiriannya dengan pasangannya saja supaya kelak ditanya tentang amalan usaha mereka. Demikian seterusnya. Intinya, Allah ‘Azza wa jalla hanya ingin dari manusia seluruhnya amal usaha yang paling baik saja. Seperti yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:
إنََّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرةٌ ، وإنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا فَيَنْظُرَ كَيفَ تَعْمَلُونَ ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاء ؛ فإنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إسرائيلَ كَانَتْ في النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (menggiurkan), sementara Allah menjadikan kalian sebagai pemakmurnya agar Dia melihat apa amalan (yang kalian usahakan). Oleh karenanya, bertakwalah (kepada Allah pada) dunia dan kaum wanita, sebab sesungguhnya godaan pertama (yang membinasakan) bani Isra’il ada pada kaum wanita.” (HR. Muslim: 2742)
Anak pun Merupakan Ujian
Tidak saja aktivitas kita saja yang merupakan ujian, bahkan anak itu sendiri merupakan cobaan. Dia ‘Azza wa jalla berfirman:
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah, bahwa harta dan anak-anakmu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al-Anfal [8]: 28)
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Artinya, cobaan dan ujian dari-Nya buat kalian. Sebab Dia ‘Azza wa jalla menganugerahkan semua itu buat kalian agar Allah mengetahui apakah kalian bersyukur kepada-Nya atas semua itu dan menaati-Nya dengannya, atau justru kalian sibuk dengannya dan asyik sekali sehingga melalaikan-Nya.”
Tak heran bila terkadang anak itu menjadi musuh bagi orang tuanya. (QS. at-Taghabun ayat 14) Maksudnya, terkadang istri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama. Saat itulah kita harus waspada dari anak-anak. Ini pun makna sebuah ujian dan cobaan.
Tidak Punya Anak Ada Hikmahnya
Setelah semua itu, kita bisa memahami bahwa dianugerahi anak ataukah tidak sama saja berarti diberi ujian oleh Allah ‘Azza wa jalla. Semuanya agar manusia beramal yang paling baik menurut Allah dengan masing-masing ujian serta cobaannya. Yang punya anak agar beramal yang baik dengan anak-anak mereka, yang tidak punya anak pun agar beramal yang baik dengan tidak adanya anak.
Jadi, tidak punya anak pun menunjukkan bahwa di balik apa yang Allah kehendaki dari kita seluruhnya mengandung hikmah dan kebaikan.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَاناً وَإِنَاثاً وَيَجْعَلُ مَن يَشَاءُ عَقِيماً إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia ciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha kuasa.” (QS. asy-Syura [42]: 49-50)
Ibnu Katsir rahimahullah saat menafsirkan ayat tersebut, “Jadi, Allah ‘Azza wa jalla menjadikan manusia itu empat golongan, ada yang diberi anak-anak perempuan, ada yang diberi anak-anak lelaki, ada yang diberi dua jenis anak-anak lelaki dan perempuan, dan ada yang Dia cegah (anak-anak) darinya yang laki-laki maupun yang perempuan. Sehingga Allah jadikan ia mandul, tidak punya keturunan dan tidak diturunkan anak buatnya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui, yaitu terhadap siapa yang berhak mendapatkan masing-masing bagiannya dari keempat bagian tersebut. Maha Kuasa, yaitu atas apa yang Dia kehendaki berupa (menjadikan) manusia berbeda-beda seperti tersebut.”
Beberapa Hikmah Tidak Punya Anak
Berikut ini beberapa hikmah di balik kehendak Allah ‘Azza wa jalla tidak memberi anak kepada sebagian manusia:
1. Sebagai tanda kekuasaan Allah ‘Azza wa jalla. Sebagaimana Dia kuasa menciptakan manusia dengan keempat golongannya tersebut.
Ketika Allah ‘Azza wa jalla menciptakan Nabi Isa ‘Alaihissalam dari seorang ibu tanpa ayah Allah ‘Azza wa jalla sebutkan hikmahnya agar menjadi tanda dan sebagai rahmat. (QS. Maryam: 21)
Pun dalam hal tidak memberi anak, Allah ‘Azza wa jalla hendak menunjukan kekuasaan-Nya yang mutlak atas seluruh makhluk, agar makhluk meyakini dan bertambah iman dengan mengetahui hikmah ini. Sebab, di antara hal yang menambah iman ialah mentadabburi tanda-tanda kekuasaan Allah atas makhluk-Nya. Tentu bertambahnya iman merupakan kebaikan yang diharapkan layaknya seorang anak yang diidamkan.
2. Agar Allah ‘Azza wa jalla memberikan pahala yang lebih baik.
Tidak dipungkiri bahwa anak merupakan kebaikan. Namun tidak tentu kehadiran anak akan membuahkan pahala yang lebih baik. Bisa jadi tidak dianugerahi anak justru membuahkan pahala yang lebih baik dan lebih banyak lagi, hal ini sebagaimana yang tersirat dalam QS. al-Anfal [8]: 28).[3]
Mengenai QS. al-Anfal: 28 Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan adalah sebagai berikut, “Yaitu, pahala-Nya, pemberian-Nya serta surga-Nya jauh lebih baik bagi kalian daripada harta maupun anak-anak. Sebab, terkadang ada anak-anak yang justru menjadi musuh, sedangkan kebanyakannya tidak memberi kecukupan bagimu sedikit pun (dari adzab-Nya). Sementara Allah ‘Azza wa jalla, Dialah yang Maha mengatur, Maha merajai dan Pemilik dunia serta akhirat, juga dari-Nya ada pahala yang sangat besar, kelak di hari kiamat.”
3. Menguatkan semangat beramal baik.
Ketika seorang mukmin mengetahui bahwa seluruh aktivitas kehidupannya merupakan ujian dan cobaan dari Allah, agar diketahui siapa yang paling baik amalannya, maka bagi yang tidak memiliki anak akan semakin semangat beramal kebaikan. Sebab, saat ia melihat saudaranya yang diberi anugerah anak oleh Allah ‘Azza wa jalla, dia tahu bahwa itu ibarat medan amal bagi saudaranya. Medan untuk menambah amal shalih dengan memenuhi hak-hak anaknya. Sementara dia diberi medan amal yang berbeda. Dengan mengetahui hal ini seseorang akan terpupuk semangatnya untuk tidak mau kalah beramal meski ia tidak memiliki medan amal shalih seperti milik saudaranya.
4. Agar Allah mengingatkan kelemahan hamba-Nya sehingga tidak takabur lagi sombong.
Tatkala seseorang mengetahui saudaranya memiliki anak, dengan husnuzhan kepada Allah dan kepada saudaranya berarti ia mengetahui bahwa saudaranya itulah yang lebih layak mengasuh anak, mendidiknya serta mencukupi hak-haknya sehingga dianugerahi anak, bukan dirinya. Dengan begitu ia tidak akan sombong, namun tawadhu’ di hadapan saudaranya semata-mata karena Allah, dan lebih dari itu ia semakin merendahkan diri di hadapan Allah ‘Azza wa jalla.
5. Agar hamba-Nya memperbanyak memohon ampunan-Nya.
Tatkala seorang tahu bahwa dirinya banyak kelemahan dan kekurangan, ia akan memperbanyak istighfar. Memperbanyak istighfar merupakan sebab dianugerahkannya anak, selain merupakan kebaikan di atas kebaikan anak. Sehingga Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا
“Berbahagialah orang yang kelak mendapati lembaran catatan amalnya terdapat istighfar yang banyak. “ (HR. Ibnu Majah: 3818, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’: 3930.)
6. Agar Allah menunaikan hak-hak anak-anak yatim dan fakir miskin.
Bagi rumah tangga yang tidak dikaruniai anak akan mencari obat rindunya terhadap kehadiran anak dengan berbagai cara yang dibenarkan syariat. Di antara yang bisa jadi pilihan adalah menyantuni anak-anak yatim dan terlantar lantaran miskin. Sehingga dengannya Allah ‘Azza wa jalla memenuhi hak-hak mereka untuk disantuni.
7. Agar Allah ‘Azza wa jalla melihat siapa yang berusaha mendapatkan anugerah anak dengan cara yang diridhai-Nya dari siapa yang bermaksiat kepada-Nya.
Syaikh Abu Bakar al-Jazairi mengatakan, “Dan tidak mengapa melakukan terapi penyembuhan dengan cara yang disyariatkan tatkala dirasa ada kemandulan. Adapun apa yang sekarang mulai bermunculan berupa bank-bank mani, atau mengusahakan kehamilan dengan cara menuangkan ovum (orang lain) yang telah dibuahi air mani orang lain (bukan suaminya) ke dalam farji perempuan mandul dan semisalnya maka itu semua merupakan perbuatan orang-orang ateis yang tidak beragama untuk Allah dengan ketaatan dan berserah diri terhadap qadha’-Nya, meski pelakunya puasa, shalat dan mengaku beriman. Sebab, tiada lagi rasa malu bagi mereka, dan tidak ada iman bagi orang yang tidak punya malu. Cukuplah keburukan perilaku kaum ini tatkala mereka membuka aurat-aurat tidak untuk menyelamatkan kehidupan dan bukan atas keridhaan Allah Rabb langit dan bumi.” [4]
8. Agar Allah tetapkan halalnya poligami dan haramnya zina.
Sebab poligami merupakan alternatif yang baik untuk usaha memiliki anak. Poligami dihalalkan, adapun selingkuh, berzina dan semisalnya adalah haram.
9. Menguatkan kualitas kesabaran seorang hamba.
Tatkala tidak punya anak dinilai sebuah keburukan, maka ia merupakan cambuk yang menggiatkan hamba agar meningkatkan kesabarannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah tatkala menafsirkan surat al-Anbiya’ ayat 35, “Yaitu Kami uji kalian terkadang dengan berbagai musibah dan terkadang dengan berbagai kenikmatan, agar Kami melihat siapa yang bersyukur dari yang kufur dan siapa yang bersabar dari yang berputus asa.”
Inilah sebagian hikmah dari rumah tangga yang belum memiliki anak. Tentunya masih terlalu banyak hikmah yang hanya Allah ‘Azza wa jalla saja yang mengetahuinya sehingga hanya berserah diri kepada qadha’-Nya dengan berharap seluruh kebaikan yang harus kita upayakan.
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah: 216)
Wallahul muwaffiq.
[Disalin dari Majalah al-Mawaddah Vol.48_1433H/2012M]
e-Book dari www.ibnumajjah.wordpress.com
________________________________________
[1]. Sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut, bahwa ini pendapat Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Anas, Syuraih al-Qadhi, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Atha’, ar-Rabi’ bin Anas, as-Sudi, Zaid bin Aslam, al-Hakam bin Utbah, Muqatil bin Hayyan, al-Hasan al-Bashri, adh-Dhahak, Qatadah dan selain mereka.
[2]. Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Ibnu Katsir rahimahullah terhadap ayat tersebut.
[3]. Ayat semakna dengannya ialah QS at-Taghabun: 15
[4]. Aisarut Tafasir 4/11.