Akhwatmuslimah.com – Kasus pertama : wanita haidh pada jam 9 malam dan dia belum shalat Isya. Ketika dia suci nanti haruskah dia mengganti shalat Isya yang belum sempat dia kerjakan itu?
Contoh lain, saya dapat haidh pada jam satu siang dan saya belum shalat Zuhur karena memang ingin mengerjakan pekerjaan dapur terlebih dahulu, apakah kalau nanti saya bersih maka saya harus mengqadha?
Jawab:
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini:
Pendapat Pertama:
Jumhur atau mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita yang haidh di waktu shalat dan dia belum sempat melaksanakan shalat itu karena sengaja ingin mengulur waktu maka dia wajib mengqadha shalat tersebut bila sudah suci nanti.
Ini adalah pandapat madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali meski mereka punya perincian yang berbeda-beda, tapi dalam kasus di atas mereka satu kata yaitu wajib mengqadha shalat Isya tersebut.[1]
Ini juga menjadi pendapat sebagian besar tabi’in, seperti Asy-Sya’bi, Qatadah (Mushannaf Abdurrazzaq, no. 1289 dan 1290), Hasan Al-Bashri (Sunan Ad-Darimi no. 916)
Dalam beberapa fatwa yang bisa kita browsing dari internet maka kita dapati bahwa salah satu dalilnya dalam hal ini adalah firman Allah dalam surah An-Nisa` ayat 103:
ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ
“Sesungguhnya shalat itu sudah ditentukan waktunya sebagai kewajiban bagi kaum mukminin.”
Juga hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim,
“Siapa yang ketiduran dari suatu shalat atau lupa, maka hendaklah dia mengerjakannya ketika ingat, dan tidak ada kaffarah baginya selain itu.”
Tapi bila kita lihat sebenarnya dalil-dalil tersebut tidak dengan tegas menyatakan bahwa kalau seseorang terhalang dengan haidh maka dia tetap harus mengqadha shalat. Apalagi shalat lima waktu punya rentang waktu dimana seseorang diperbolehkan mengulurnya asal jangan keluar dari waktu yang ditentukan. Misalnya saja shalat Zuhur terbentang waktunya dari sekitar jam 12 siang sampai sekitar jam 3 sore, maka tidak ada salahnya seorang wanita mengerjakannya pada jam 1 atau jam 2 dan tidak ada kewajiban baginya melaksanakannya di awal waktu, hanya disunnahkan untuk itu. Artinya, kalau dia sengaja mengulur waktu tersebut maka dia tidak dianggap melalaikan shalat atau melupakan, karena dia memang punya hak untuk melakukan itu.
Pendapat kedua:
Sebagian ahli fikih mengatakan bahwa kalau kejadiannya seperti yang diatas itu maka dia tidak perlu mengqadha shalat tersebut. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi secara umum, meski ada perincian lain dalam madzhab itu sendiri, madzhab Azh-Zhahiri sebagaimana diungkapkan dan dibela oleh Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla.
Dari kalangan tabi’in diperoleh riwayat yang mendukung dari Sa’id bin Jubair sebagaimana disebutkan dalam sunan Ad-Darimi: “Sa’id bin Al-Mughirah menceritakan kepada kami, Ibnu Al-Mubarak berkata, Ya’qub menceritakan kepada kami, dari Abu Yusuf, dari Sa’id bin Jubair yang berkata, “Apabila seorang wanita terkena haidh di waktu shalat maka dia tidak perlu mengqadha shalat tersebut.”
(Sunan Ad-Darimi, no. 919, Ad-Darani mengatakan sanadnyajayyid (bagus)).
Benarkah sanadnya jayyid? mari kita uji:
- Sa’id bin Al-Mughirah dianggap tsiqah oleh Abu Hatim dan Ibnu Hibban (Al-Jarh4/68, Ats-Tsiqaat 8/266, no. 13366), dan dia memang merupakan murid dari Ibnu Al-Mubarak sebagaimana kata Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh.
- Abdullah Ibnu Al-Mubarak, imam hafizh sangat terkenal.
- Ya’qub bin Al-Qa’qa’ seorang yang tsiqah sebagaimana disebutkan dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil 9/213.
- Abu Yusuf Al-Makki disebutkan biografinya oleh Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil tanpa ada jarh dan ta’dil dan memang salah satu yang meriwayatkan darinya adalah Ya’qub bin Al-Qa’qa’, dan dia meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair. Jadi, sanad di atas bersambung sampai ke Sa’id. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat, dengan demikian nyatalah bahwa haditsnya shahih.
- Sa’id bin Jubair, seorang tabi’in yang terkenal.
Dengan demikian benarlah kata Ad-Darani bahwa sanad ini jayyid.
Ibnu Hazm membela pendapat ini dengan memberikan alasan yang cukup kuat. Mari kita simak pernyataan Ibnu Hazm sebagai berikut:
Masalah 258: Kalau seorang wanita haidh di awal waktu shalat atau di akhirnya dan dia belum melaksanakan shalat itu, maka gugurlah kewajibannya menjalankan shalat tersebut, serta dia tidak perlu menggantinya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Al-Awza’i dan teman-teman kami (pengikut madzhab Zhahiri –penerj). Ini juga merupakan pendapat Muhammad bin Sirin, dan Hammad bin Abu Sulaiman.
Sedangkan An-Nakha`i, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Ishaq mengatakan dia tetap wajib menggantinya. Asy-Syafi’i berkata, kalau dia bisa melaksanakan shalat tersebut (sebelum haid) maka dia wajib mengganti.
Dalil bagi pendapat kami adalah bahwa Allah Ta’ala menjadikan shalat itu punya waktu-waktu tersendiri dari awal hingga akhir. Telah shahih bahwa orang yang mengundur pelaksanaan shalat di akhir waktu tidak bisa dikatakan bermaksiat, karena Nabi saw tidak pernah melakukan maksiat. Kalau dianggap bukan maksiat maka tidaklah wajib shalat atasnya setelah suci nanti karena dia memang diperbolehkan mengundur shalat itu sendiri. Ketika si wanita ini tidak diwajibkan melaksanakan shalat di awal waktu lalu dia haidh berarti otomatis kewajiban shalat itu gugur darinya.
Kalau saja shalat tersebut wajib di saat masuknya waktu berarti yang mengerjakannya setelah lewat waktu awal shalat tersebut dianggap mengqadha dan bukan ada` serta berdosa lantaran mengulurnya dari waktu yang wajib. Pendapat semacam ini jelas batil dan tidak ada yang menganutnya.
(Al-Muhalla, juz 2, hal. 175-176).
Pendapat Ibnu Hazm ini didukung oleh Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al-Fatawa Al-Kubra jilid 2 hal. 303 terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyyah tahun 1987 / 1408, beliau berkata,
وَقَرِيبٌ مِنْ هَذَا اخْتِلَافُهُمْ فِيمَا إذَا دَخَلَ عَلَيْهَا الْوَقْتُ وَهِيَ طَاهِرَةٌ ثُمَّ حَاضَتْ، هَلْ يَلْزَمُهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ أَمْ لَا؟ عَلَى قَوْلَيْنِ: أَحَدُهُمَا: لَا يَلْزَمُهَا، كَمَا يَقُولُهُ مَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ.
وَالثَّانِي: يَلْزَمُهَا، كَمَا يَقُولُهُ الشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ.
Yang mirip dengan ini adalah perbedaan pendapat mereka tentang situasi dimana seorang wanita mendapati waktu shalat dalam keadaan suci, kemudian datang haidhnya. Apakah dia wajib mengqadha shalat itu atau tidak?
Ada dua pendapat: dia tidak perlu mengqadha`nya sebagaimana pendapat Malik dan Abu Hanifah, atau dia wajib mengqadhanya sebagai pendapat Asy-Syafi’i dan Ahmad.”
Kemudian beliau berkata,
وَالْأَظْهَرُ فِي الدَّلِيلِ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ أَنَّهَا لَا يَلْزَمُهَا شَيْءٌ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ إنَّمَا يَجِبُ بِأَمْرٍ جَدِيدٍ، وَلَا أَمْرَ هُنَا يَلْزَمُهَا بِالْقَضَاءِ، وَلِأَنَّهَا أَخَّرَتْ تَأْخِيرًا جَائِزًا فَهِيَ غَيْرُ مُفَرِّطَةٍ، وَأَمَّا النَّائِمُ أَوْ النَّاسِي – وَإِنْ كَانَ غَيْرَ مُفَرِّطٍ أَيْضًا – فَإِنَّ مَا يَفْعَلُهُ لَيْسَ قَضَاءً، بَلْ ذَلِكَ وَقْتُ الصَّلَاةِ فِي حَقِّهِ حِينَ يَسْتَيْقِظُ وَيَذْكُرُ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ ذَلِكَ وَقْتُهَا».
وَلَيْسَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَدِيثٌ وَاحِدٌ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ بَعْدَ وَقْتِهَا، وَإِنَّمَا وَرَدَتْ السُّنَّةُ بِالْإِعَادَةِ فِي الْوَقْتِ لِمَنْ تَرَكَ وَاجِبًا مِنْ وَاجِبَاتِ الصَّلَاةِ كَأَمْرِهِ لِلْمُسِيءِ فِي صَلَاتِهِ بِالْإِعَادَةِ لَمَّا تَرَكَ الطُّمَأْنِينَةَ الْمَأْمُورَ بِهَا، وَكَأَمْرِهِ لِمَنْ صَلَّى خَلْفَ الصَّفِّ مُنْفَرِدًا بِالْإِعَادَةِ لَمَّا تَرَكَ الْمُصَافَّةَ الْوَاجِبَةَ، وَكَأَمْرِهِ لِمَنْ تَرَكَ لُمْعَةً مِنْ قَدَمِهِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ بِالْإِعَادَةِ لَمَّا تَرَكَ الْوُضُوءَ الْمَأْمُورَ بِهِ وَأَمَرَ النَّائِمَ وَالنَّاسِيَ بِأَنْ يُصَلِّيَا إذَا ذَكَرَا، وَذَلِكَ هُوَ الْوَقْتُ فِي حَقِّهِمَا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ.
Yang paling kuat dalilnya adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik bahwa dia tidak perlu mengqadha apapun, karena qadha hanya diwajibkan dengan adanya perintah baru dan di sini tidak ada perintah atas dirinya yang menyebabkan dia wajib mengqadha. Juga karena dia mengundur pelaksanaan shalat itu dalam kondisi diperbolehkan dan dia tidak melalaikan shalat.
Sedangkan orang tidur maupun lupa, meski mereka juga tidak diangap sengaja melalaikan tapi apa yang mereka lakukan itu bukanlah qadha`, melainkan waktu shalat untuk mereka adalah ketika mereka terbangun atau ingat sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:“Siapa yang ketiduran atau kelupaan dari suatu shalat maka hendaklah dia melaksanakannya kala dia ingat,karena itulah waktunya.”
Tidak ada satu haditspun dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mewajibkan qadha shalat di luar waktunya. Sunnahnya hanya ada yang mewajibkan pengulangan shalat di waktunya bagi yang meninggalkan kewajiban atau rukun shalat, seperti perintah beliau bagi orang yang shalatnya salah untuk mengulang karena tiding thuma’ninah. Juga seperti perintah beliau kepada orang yang shalat sendirian di belakang shaf untuk mengulang, karena meninggalkan barisan yang diwajibkan. Atau seperti perintah beliau kepada orang yang di tumitnya ada bagian yang tak kena air wudhu untuk mengulang, karena dia telah meninggalkan wudhu yang diperintahkan. Uga perintah kepada orang yang ketiduran dan kelupaan untuk melaksanakan shalat ketika mereka ingat, karena di saat itulah waktu shalat buat mereka (ketika ingat itu). Hanya Allah SWT-lah yang lebih tahu.”
Di antara ulama kontemporer yang mendukung pendapat kedua ini adalah Syekh Mushthafa Al-Adawi sebagaimana disebutkannya dalam kitabnya Jami’ Ahkam An-Nisa` juz 1 hal. 175 – 176. Al-Adawi menyebutkan bahwa Al-Baihaqi mengindikasikan dukungannya terhadap pendapat ini, karena dalam As-Sunan Al-Kubra dia membuat bab tentang wanita yang sebenarnya bisa melaksanakan shalat di awal waktu namun belum sempat shalat dia keburu haidh atau pingsan. Dalam bab itu Al-Baihaqi menyebutkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, ”Jangan tanya aku dalam masalah yang tidak aku jelaskan kepada kalian, karena kecelakaan yang menimpa orang-orang sebelum kalian adalah lantaran mereka suka bertanya lalu membantah Nabi mereka. Kalau aku sudah larang kalian maka jauhi dan yang aku perintahkan kerjakanlah semampu kalian.”
Sepertinya Al-Baihaqi mengesankan bahwa berhubung tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam masalah ini, maka hendaknya tidak perlu mencari pewajiban shalat yang telah gugur dengan sebab haidh tersebut. Wallahu a’lam.
Sepertinya pendapat kedua ini lebih ringan bagi para wanita mukminah, tapi pendapat pertama lebih berhati, sehingga silahkan memilih mana yang ingin dikerjakan. Dalam syariah sendiri memang banyak dalil yang menganjurkan memilih yang paling mudah selama memang dalilnya kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, dan dalil pendapat kedua insya Allah bisa dipertanggungjawabkan. Wallahu a’lam.
Kasus 2:
Saya bersih dari haidh pada waktu Asar, apakah saya wajib mengqadha Zuhur juga atau Asar saja? Seperti halnya kalau saya bersih haidh di waktu Isya, apakah saya hanya wajib shalat Isya ataukah Maghribnya juga?
Jawab:
Masalah ini cukup terkenal dan pembahasannya lebih panjang dari yang pertama.
Ada dua pendapat secara garis besar tentang hal ini:
Pendapat pertama:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa dalam kasus di atas berarti sang wanita haidh wajib mengqadha shalat Zuhur pula. Kalau dia bersih di waktu Isya maka wajib melaksanakan shalat Maghrib juga.
Ini adalah pendapat madzhab yang empat dan kebanyakan tabi’in berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih dari mereka, yaitu Thawus, ’Atha`, Asy-Sya’bi, Al-Hakam mereka semua mengatakan, ”Kalau seorang wanita haidh bersih sebelum malam, maka dia wajib melaksanakan shalat Zuhur dan Asar. Kalau dia bersih sebelum Subuh, maka dia wajib melaksanakan shalat Maghrib dan Isya.”
Riwayat-riwayat dari mereka sudah shahih dan tak perlu diuji validitas. Silahkan merujuk ke Mushannaf Abdurrazzaq 1/332 – 334.
Lalu ada riwayat dari dua orang sahabat Nabi SAW yaitu Abdurrahman bin Auf dan Ibnu Abbas yang mendukung pendapat ini. Andai kedua riwayat dari dua sahabat Nabi SAW ini shahih maka dia akan sangat kuat. Tapi mari kita lakukan uji validitas terhadap kedua riwayat tersebut:
1.Atsar Abdurrahman bin Auf.
Dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah disebutkan, ”Abu Bakar menceritakan kepada kami, Hatim bin Ismail menceritakan kepada kami, dari Muhammad bin Utsman Al-Makhzumi yang berkata, nenekku mengabarkan kepadaku, dari seorang mawla (mantan budak) milik Abdurrahman bin Auf yang berkata, Aku mendengar Abdurrahman bin Auf berkata, ”Apabila seorang wanita haidh suci sebelum terbenamnya matahari maka dia harus shalat Zuhur dan Asar, dan kalau dia suci sebelum Fajar maka dia harus shalat Maghrib dan Isya.”
(Mushanaf Ibnu Abi Syaibah, jilid 5 hal. 84-85, kitab Ash-Shalawat, bab: Al-Ha`idh that-huru aakhiran nahaar, nomor: 7282).
Atsar Abdurrahman bin Auf ini dha’if, karena mawla Abdurrahman bin Auf tidak diketahui sehingga dianggap majhul sebagaimana dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish Al-Habir, 1/344 dan Ibnu Mulaqqin dalam Al-Badrul Munir 3/302.
Riwayat ini diperkuat oleh riwayat Abdurrazzaq dalam mushannafnya dari Ibnu Juraij, dia berkata, Aku diceritakan dari Abdurrahman bin Auf, “Kalau wanita haidh suci sebelum terbenam matahari maka dia harus shalat siang seluruhnya (Zuhur dan Asar), dan kalau dia suci sebelum terbit fajar maka dia harus shalat malam semuanya (Maghrib dan Isya).”
(Mushannaf Abdurrazzaq 1/333, no. 1285.)
Riwayat Abdurrazzaq ini juga lemah karena Ibnu Juraij tidak menjelaskan siapa yang menceritakan kepadanya dari Abdurrahman bin Auf sehingga sanadnya terputus. Bisa jadi dia mendapatkannya dari mawla Abdurrahman bin Auf di atas sehingga muara sanad tetap satu dan orang yang dhaif.
2.Atsar Ibnu Abbas:
Disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (5/85, no. 7248) dan Ad-Darimi dalam sunannya dari Yazid bin Abu Ziyad, dari Miqsam. Tetapi Yazid bin Abu Ziyad ini dha’if. Dalam kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil Ibnu Abi Hatim ada beberapa komentar yang menunjukkan dia dha’if, seperti kata Yahya bin Ma’in berdasarkan riwayat Ad-Duuri, “Yazid bin Abu Ziyad tidak dapat dijadikan hujjah haditsnya.”
Sementara Abu Hatim mengatakan, “laisa bil qawi (dia tidak kuat).”
Sedangkan Abu Zur’ah mengatakan, “Dia orang Kufah, hadits ditulis tapi tidak boleh dijadikan hujjah.”
(Al-Jarh wa At-Ta’dil juz 9, hal. 265).
Rawi seperti ini bisa saja haditsnya dikuatkan bila ada mutabi’, dan memang ada mutabi’ yaitu jalur lain dari Ibnu Abbas adalah riwayat Al-Baihaqi melalui Laits bin Abu Sulaim, dari Thawus dan ‘Atha`, keduanya dari Ibnu Abbas yang berkata, “Bila wanita itu bersih sebelum Fajar maka dia harus shalat Maghrib dan Isya.”
Tapi Laits ini juga dha’if. Imam Ahmad mengatakan dia mudhtharib haditsnya tapi orang-orang masih menulis hadits darinya. Yahya bin Ma’in mengatakan dia itu dha’if dan keadaannya lebih buruk daripada Yazid bin Abu Ziyad. Sementara Abu Hatim dan Abu Zur’ah mengatakan dia itu mdhtharibul hadits tidak usah menyibukkan diri dengannya. (Lihat Al-Jarh wa At-Ta’dil 1/177 – 179).
Andai saja riwayat Laits ini tidak mudhtharib mungkin bisa menguatkan riwayat Yazid di atas, tapi di sisi lain dia meriwayatkan bahwa perkataan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas tersebut adalah perkataan Thawus dan ’Atha`. Ada kemungkinan hafalannya tercampur sehingga dia menganggap itu adalah perkataan Ibnu Abbas. Lagi pula cela lain bagi diri Laits ini adalah ikhtilath (hafalan dan ingatan yang kacau) sebagaimana dikatakan oleh Isa bin Yunus, ”Aku pernah melihatnya dan dia itu kacau, pernah suatu ketika dia azan di menara padahal hari baru sedang tinggi (belum masuk waktu shalat –penerj).”
Pendapat kedua:
Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hazm di mana dia mengatakan,
Masalah 259:
Kalau dia suci di akhir waktu shalat dalam jarak waktu yang tidak memungkinkannya untuk mandi dan wudhu sampai habis waktu shalat tersebut, maka dia tidak perlu melaksanakan shalat tersebut dan tidak wajib pula mengqadhanya. Ini adalah pendapat Al Awza’i dan teman-teman kami (madzhab Zahiri). Sedangkan pendapat Asy-Syafi’i dan Ahmad dia tetap harus melaksanakan shalat itu.
Dalil kebenaran pendapat kami adalah bahwa Allah ’Azza wa Jalla tidak membolehkan shalat kecuali dengan bersuci dan Allah telah menentukan waktu-wkatu khusus untuk setiap shalat, sehingga kalau tidak bisa bersuci untuk mengejar waktu yang tersisa maka kami yakin bahwa si wanita ini tidak diwajibkan lagi melaksanakan shalat tersebut karena memang dia tidak halal melaksanakannya tanpa bersuci terlebih dahulu.”
(Al-Muhalla, juz 2, hal. 176).
Syekh Mushthafa Al-Adawi dan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mendukung pendapat ini sebagaimana jelas terlihat dalam fatwanya.
Maksudnya kalau seorang wanita bersih dari haidh jam 14.50, sedangkan waktu Asar masuk jam 15.00, maka dia tidak akan sempat mandi, sehingga dia tidak perlu lagi shalat Zuhur, melainkan cukup shalat Asar. Berbeda kalau dia bersihnya jam 1 siang maka dia sempat mandi, dan kalau dia sengaja mengulur waktu mandi maka dia harus mengqadha shalat tersebut. Kalau masalah ini sepengetahuan saya tidak ada perbedaan pendapat. Wallahu a’lam.
Kembali ke masalah kasus kedua tadi. Pendapat ini adalah pendapat yang dipegang oleh Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah di kalangan tabi’in, dan ada riwayat bahwa ini adalah pendapat Anas bin Malik ra dari kalangan sahabat. Atsar Anas ini termuat dalam Sunan Ad-Darimi sebagai berikut:
أخبرنا حجاج ثنا حماد عن يونس وحميد عن الحسن عن أنس قال إذا طهرت في وقت صلاة صلت تلك الصلاة ولا تصلي غيرها
Hajjaj mengabarkan kepada kami, Hammad menceritakan kepada kami, dari Yunus dan Humaid, dari Al-Hasan, dari Anas yang berkata, “Apabila seorang wanita suci di waktu shalat maka dia hanya wajib mengerjakan shalat itu dan tidak shalat yang lain.”
(Sunan Ad Darimi, no. 929, kitab Ath-Thaharah, bab: Al-Mar`ah that-huru inda shalaatin aw tahiidhu).
Muhaqqiq kitab Sunan Ad-Darimi yaitu Husain Salim Asad Ad-Darani (1/646) mengatakan sanadnya shahih, karena Hasan (Al Bashri) memang mendengar dari Anas. Sedangkan ‘an’anah Hasan maka yang kuat adalah diterima bila dari syekh yang memang dia banyak mendengar darinya. Semua perawi tsiqah kecuali Humaid bin Abu Humaid ASy-Syami, Al Hafizh mengatakan dia majhul dalam At-Taqrib (1/173, no. 1714) tapi itu tidak masalah, karena dia tidak sendirian meriwayatkan dari Hasan Al-Bashri, ada Yunus yang menguatkannya.
Akan tetapi bisa jadi ada illatnya riwayat Anas ini karena Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkannya dari Yunus dari Hasan tanpa menyebut Anas, bila dihadapkan antara Ats-Tsauri dengan Hammad bin Salamah tentulah Ats-Tsauri yang lebih kuat kecuali bila Hammad dari Tsabit Al-Bunnani.
Riwayat Ats-Tsauri itu ada dalam riwayat Abdurrazzaq dalam mushannafnya nomor 1286, dari Ats-Tsauri, dari Yunus, dari Al-Hasan, dia berkata, “Kalau dia suci di waktu Asar, maka dia cukup mengerjakan shalat Asar saja dan tidak perlu shalat Zuhur.”
Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 7290 (tahqiq Muhammad ‘Awwamah), Sunan Ad-Darimi no. 923.
Yang lebih tegas lagi adalah riwayat Abdurrazzaq dalam mushannafnya nomor 1286, dari Ats-Tsauri, dari Yunus, dari Al-Hasan, dia berkata, “Kalau dia suci di waktu Asar, maka dia cukup mengerjakan shalat Asar saja dan tidak perlu shalat Zuhur.”
Pendapat Anas dan Hasan Al-Bashri (pendapat kedua) ini lebih mudah diikuti dan lebih sesuai dengan maksud syariat yang tidak memberatkan. Lagi pula masalah ini tentunya sering terjadi di masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tapi tak ada keterangan dari beliau bahwa seorang wanita haidh wajib melaksanakan Zuhur dan Maghrib di luar waktunya semula. Wallahu a’lam.
Anshari Taslim
Sumber : kawalitareng.blogspot.com