Ya, seperti cendawan di musim penghujan, situs ini pun mendadak ramai kunjungan karena strategi viral marketing via “share” button yang mereka terapkan. Seakan tak mau tertinggal dari trend kekinian, anak-anak muda pun beramai-ramai coba mengetikkan nama mereka untuk tahu apa arti dari identitas utama diri mereka itu. Untaian kata pun muncul, seakan-akan mendeskripsikan jati diri si pemilik nama. Lagi-lagi si pengakses pun men-share deskripsi itu di akun media sosialnya. Ada yang percaya, tapi ada yang sekadar coba-coba saja.
Selayaknya apapun hal di dunia, ada yang suka ada pula yang tak suka. Seiring meningkatnya popularitas sang website penganalisa nama, sebagian orang pun ada yang mulai risih dengannya. Berbagai sentimen bermunculan. Predikat alay pada para pengakses dan pemercaya situs itu pun mulai disematkan. Pertanyaan tentang apa beda percaya pada hasil analisa situs itu dengan percaya pada ramalan zodiak pun mulai dilontarkan. Kredibilitas situs lalu dipermasalahkan. Sebagian membuktikan ketidakshahihan situs itu dengan mencoba mengetik nama Fir’aun, Abu Lahab, bahkan Dajjal, Iblis, dan Setan. Hasilnya situs itu mendefinisikan nama-nama penjahat zaman itu dengan defenisi yang super duper baik, jauh dari kenyataan. Intinya, situs itu dinilai hanya senda gurauan, tak patut dipercaya, dan tak patutlah eksistensinya terus dipopulerkan.
Situs itu juga dinilai sebagai jebakan. Membuai anak-anak muda dengan jualan omong kosong melalui defenisi nama yang manis mengesankan. Padahal apapun kalimat yang tertera hanyalah opsionis acak sistem robotik yang berasal dari software sang programmer. Statement-statement ini dilontarkan, mematahkan keyakinan sebagian netizen yang mengatakan defenisi nama-nama di situs itu adalah hasil penelitian, dan lain sebagainya. Namun, statement ini belum mematahkan pendapat sebagian besar lain netizen yang menganggap situs ini hanya sekadar seru-seruan belaka, soal kebenaran itu kembali pada sang pemilik nama.
Akhirnya, kontroversi pun bermunculan. Antara pengakses situs yang mayoritas awam belum punya pemahaman, dengan pengkritik situs yang mayoritas berasal dari kalangan aktivis Muslim nan menawan.
Himbauan untuk tak membebek share analisa nama begituan mulai diserukan. Sayangnya, sebagian -bukan semua- saudara kita yang memahami bahwa fenomena ini sebagai sebuah kesalahan, seringkali terlalu bersemangat menyampaikan seruannya itu hingga melibatkan argumen yang kurang menyejukkan. Menjuluk pengakses situs tersebut sebagai orang alay, kurang kerjaan, bahkan menjurus musyrik (na’udzubillah), tentu menyakitkan. Padahal, jika kita selami lebih dalam, kita akan lebih dapat memahami mengapa fenomena ini begitu cepat menjamur ditengah sebagian kawan-kawan.
Tentu hal ini harus didewasakan. Bahwa mempercayai hal-hal tak berdasar sebagai sebuah kebenaran hakiki tentu tak bisa dianggukkan. Namun, memberikan pengertian yang santun dan mudah dipahami juga tak boleh kalah diprioritaskan.
Jangan buru-buru menuduh alay, musyrik, atau kurang kerjaan. Jangan pula buru-buru men-share hasil ngawur analisa situs tersebut mengenai defenisi dari nama-nama seperti Fir’aun, Dajjal, atau Setan sebagai pembuktian bahwa situs itu ngaco tak mencerminkan kenyataan. Mari kita dahulukan sikap melihat suatu kasus dari berbagai sudut pandang. Maka, akan kita temui satu sebab yang menarik hingga kita belajar untuk lebih bijaksana dalam menyikapi dan mengingatkan kesalahan-kesalahan di setiap trend baru akhir zaman.
Apa sih sebenarnya yang melatarbelakangi ketertarikan sekian banyak orang tentang makna dari namanya walau cuma coba-coba? Apa pula yang melatarbelakangi keingintahuan mereka tentang sifat dan watak mereka? Dan, apa yang menyebabkan mereka mau men-share defenisi itu?
Satu jawaban untuk itu semua, ialah “ma’rifatunnafs”, alias mengenali diri sendiri. Sebuah aktifitas yang terdengar ringan, namun sukar sekali diarungi. Sebuah anak tangga yang seringkali seorang renta pun belum juga menapaki. Sebuah proses yang menjadikan pertanyaan “siapakah Anda?” menjadi berat, melebihi beratnya pertanyaan “kapan wisuda?”.
Semua orang tentu ingin mengenal diri. Sebab diri amatlah penting. Dalam dirilah selama ini dia hidup dan berkehidupan. Dalam dirilah selama ini dia makan, ngobrol, kerja, tidur, makan lagi, dan segala rutinitas lainnya. Dirilah yang menjadi tunggangannya dalam melintasi waktu. Maka, diri dengan segala sifat dan watak yang menjadi bagiannya, termasuk apa arti dari nama-nama yang melekat di setiap manusia, akan selalu menjadi misteri yang sangat ingin dipecahkan.
Mengapa demikian?
Sederhananya, ketika Anda datang memegang kendali sebuah kendaraan, namun Anda buta karena baru pertama kali mengendarainya, bagaimanakah perasaan Anda? Tentulah tak nyaman, kebingungan, dan jika terjadi sesuatu Anda pun tak tahu bagaimana harus ambil tindakan.
Beda kondisinya jika Anda memegang kendali sebuah kendaraan yang seluk beluknya pun sudah Anda pahami. Anda akan lebih santai dan tenang, merasa lebih aman, sebab Anda sudah mengenali kendaraan itu dengan sangat baik. Apapun yang terjadi Anda pasti bisa mengakali dan cari solusi. Anda pun lebih mudah mencapai tujuan Anda, sebab lika-likunya Anda tahu. Maka, itulah keuntungan dari mengenali sesuatu.
Begitu pulalah keuntungan mengenali diri. Sehari-hari kita hidup dalam diri, maka diri menjadi hal yang paling utama untuk kita kenali.
Sebegitu pentingnya mengenal diri, hingga sebab ingin mengenal diri lah Ibrahim ‘alaihissalam akhirnya mengenal Allaah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini senada dengan penggalan kuno yang populer berbunyi, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Sebegitu pentingnya mengenal diri, hingga dalam wahyu pertama yang Allah firmankan kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, Allah sertakan pemahaman mengenai indentitas manusia. Yakni makhluk yang Allaah ciptakan daripada segumpal darah, yang memiliki kecerdasan pun sebab Allaah yang ajarkan, sebab Ia Maha Pemurah:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaaq [96]: 1-5)
Begitulah Allaah menjadikan pengenalan diri manusia sebagai prioritas ilmu yang dikenalkan-Nya mula-mula pada kita. Ini tentu karena Allaah memang menjadikan rasa penasaran manusia mengenai bagaimanakah hakikatnya diri dan jiwanya sebagai sebuah sunnatullah. Karenanya, mendudukkan pemahaman bahwa kodrat manusia adalah makhluk lemah jika tanpa kekuatan dari-Nya hingga konsekuensinya manusia wajib menghamba hanya pada-Nya dapat menjadi pondasi awal untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan -tentu setelah sebelumnya dipahamkan tentang Allaah adalah Rabb satu-satunya-.
Hal inilah yang dilakukan oleh Rasulullaah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyadarkan umatnya agar berhenti meramaikan praktik perdukunan. Jika kita membaca ayat-ayat Makkiyyah dan kitab-kitab sirah nabawiyah (sejarah kenabian), akan kita pahami bahwa dalam periode Makkah hanya tiga hal saja yang menjadi point utama dakwah Rasulullaah, yakni [1]ketauhidan Allaah, [2]kenabian Muhammad Rasulullaah, dan [3]hari akhir.
Allaah menuntun Rasulullaah untuk memahami bahwa kebiasaan masyarakat jahiliyyah untuk datang ke dukun setidaknya adalah karena ketidakpahaman mereka terhadap Allaah sehingga menganggap ada yang lebih berkuasa menentukan kehidupannya selain Allaah (yakni nasib), rasa penasaran mereka akan jati dirinya, dan ketakutan mereka akan apa yang menimpa mereka di masa mendatang.
Maka Allaah menuntun Rasulullaah untuk menebarkan ilmu, bukan celaan. Yakni memahamkan mereka tentang ke-Maha-Kuasaan Allaah, pentingnya mengimani Muhammad adalah Rasulullaah sebagai jalan untuk mengenal Allaah, dan menerangkan adanya hari akhir sebagai tujuan setiap manusia, beserta adanya ganjaran dari kehidupan dunia di akhirat sana.
Dengan tiga prinsip ini, mereka pun akan lebih mengenali diri mereka, hingga bisa mengendalikan dirinya untuk mendapat rapor akhirat yang bikin bahagia. Dengan tiga point ini pula, manusia sejatinya akan bisa menjawab pertanyaan dasar tentang siapa mereka, darimana mereka berasal, untuk apa mereka diciptakan, dan akan jadi apa mereka di masa yang akan datang. Ketika manusia bisa mengimani Allaah dengan benar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar ini, maka dengan sendirinya mereka akan menjauhi berhala, dukun, ramalan, atau defenisi-defenisi ngasal yang biasa mereka yakini untuk mengenal diri mereka.
Sebaliknya, jika manusia tak mampu mengenali diri, atau hanya mengandalkan pemahaman tentang dirinya dari prasangka pribadi dan pernyataan tak berdasar, maka bahaya besar akan mengincarnya. Sangat banyak orang yang menjadi rusak karena tak bisa mengenali siapa dirinya. Sebagaimana Fir’aun, jelas sekali bahwa salah satu sebab kehancurannya ialah karena ia tak mengenali siapakah dirinya, sampai-sampai gila menyangka dirinya adalah Tuhan yang punya segala kuasa. Begitu pula Namrud, Qarun, Kan’an, dan berbagai kaum seperti Bani Israil, Sodom, ‘Ad, Tsamud, dan Madyan, sebagaimana yang dicontohkan Allaah dalam Al-Qur’an.
Maka, sekali lagi, tentulah penting untuk mengenali diri, bagi seorang Muslim khususnya. Kaitan utamanya ialah mengenai posisi kehambaannya terhadap Allaah, dan tugas utamanya di muka bumi, serta akan bagaimana afterlife-nya di akhirat nanti. Kaitan lainnya ialah tentang hubungannya sesama manusia, yakni mencerminkan akhlaq (perilaku) sebagai seorang Muslim yang sesuai dengan tuntunan agama.
Yap, tuntunan agama, itulah yang menjadi satu-satunya sumbu utama seorang Muslim dalam mengenal dirinya. Bukan perihidup agamawan, ramalan bintang, atau bahkan situs penganalisa nama. Melainkan panduan Allaah dan Rasul-Nya lah yang jadi tolok ukurnya. Diluar yang dua itu (yakni panduan Allaah dan Rasul-Nya), hanya mereka-mereka yang mengikuti Allaah dan Rasul-Nya lah yang patut dijadikan tauladan dalam mengenal diri dan kehidupan.
Tidak perlu kita repot-repot membuka website penganalisa nama, yang analisanya pun sama sekali tak akurat, asal njeplak saja. Akan lebih sempurna jika kita mengenal diri manusia melalui pencipta-Nya, sebab ibarat sebuah syair, siapatah lagi yang lebih mengerti maknanya selain pengarangnya? Ibarat sebuah buku, siapatah lagi yang lebih hafal jalan ceritanya selain penulisnya? Maka, manusia, siapatah lagi yang lebih mengenalnya selain Allaah ‘Azza wa Jalla?
Al-Qur’an adalah panduan mengenali diri yang paling pas dengan fitrah manusia. Begitupun kitab-kitab hadits dan buku sejarah kenabian sebagai prasasti panduan Nabi dalam berkehidupan, yang apabila dipahami dan diamalkan tentu akan sangat bersesuaian dengan jati diri kita sebagai manusia. Sebab patokan Nabi dalam setiap tindakan bukanlah nafsu, melainkan wahyu dari Allaahur-Rahmaan:
“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm [53]: 4)
Pada akhirnya, secara perlahan jika kita terus mengkaji Al-Qur’an dan As-sunnah secara simultan dan berketerusan, kita akan mengenal pribadi kita sebagai insan. Sebagaimana orang segarang Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anhu yang baru menyadari di dirinya ada kelembutan setelah memahami Islam. Begitu pula hamba sahaya seperti Bilal bin Rabah radhiallaahu ‘anhu yang menyadari di dirinya ada kemuliaan setelah tersentuh hidayah Islam. Serta, pedagang kaya seperti Suhaib bin Sinan yang lalu mengerti bahwa hidup bukanlah semata mengejar harta melainkan ridha Allah Ta’ala setelah beriman Islam.
Semoga Allaah mudahkan kita semua untuk mengenali diri, hingga kita tak perlu mencari-cari defenisi diri sampai ke situs ngaco penerjemah nama lagi -walaupun sekadar seru-seruan, sebab kita tahu bahwa hal seperti itu tak ada manfaat malah membuat waktu kita jadi merugi-. Semoga Allaah pula melembutkan lisan dan hati, hingga kita mampu mengingatkan sesama dengan bahasa yang lembut lagi mudah dimengerti dan diikuti. Aamiin ya Rabbi…
Allahu a’lam bisshawab.
Yogyakarta, 22 April 2015
ttd
Irvan Riviandana Nst
Sumber : Dakwah Kreatif