Akhwatmuslimah.com – Ingatkah kita kisah yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra. ketika melalui malam dengan Rasulullah SAW, bersisian, bersentuhan, “…kulitku dengan kulitnya..” istilah Aisyah. Lantas kemudian Rasulullah hendak melakukan qiyamullail?
Sungguh mulia apa yang dicontohkan Rasulullah dalam hadits tersebut, betapa beliau mengajarkan kita untuk mencintai Allah diatas segalanya dengan cara yang indah, tanpa harus mengecilkan (membuat terasa kecil) kecintaan kepada istri yang notabene harus menjadi yang paling dicintai setelah Allah dan RasulNya.
“…Yaa Aisyah, bolehkah aku menyembah Tuhanku…?”
Kira-kira beginilah ucapan Rasulullah meminta izin kepada Aisyah untuk qiyamullail disaat mereka berdua tengah menikmati kebersamaan. Padahal sebenarnya Rasulullah tidak perlu meminta izin sedemikian rupa dengan menanyakan kepada istrinya apakah dia boleh meninggalkan istrinya sejenak untuk sholat malam. Bukankah Cinta Kepada Allah harus diatas cinta kepada istri?
Tapi, lihat betapa indahnya Rasulullah bersikap kepada istrinya. Lihatlah betapa Rasulullah menunjukkan kecintaannya kepada Rabbnya lebih tinggi dari kecintaannya kepada istrinya dengan TANPA harus menyakiti perasaan istrinya sedikitpun. Dengan tanpa membuat istrinya kecewa sedikitpun.
Padahal, bilapun Rasulullah tidak membahasakannya dengan cara meminta izin kepada Aisyah, misalnya dengan langsung bangkit untuk sholat tanpa berkata apapun kepada istrinya terlebih dahulu, mungkin Aisyah tidak akan keberatan atau kecewa meski saat itu mereka tengah merasa nyaman dengan kebersamaan yang begitu erat.
“…wahai suamiku, sesungguhnya aku suka berdekatan denganmu, tapi aku juga suka melihatmu menyembah Tuhanmu…” begitulah kira-kira jawaban Aisyah, dengan penuh keridhoan dan tanpa menyiratkan kekecewaan sedikitpun ketika suaminya ingin mendahulukan kecintaannya kepada Allah (dalam hal ini qiyamullail) ketimbang kecintaan kepadanya. Inilah manajemen cinta yang seharusnya.
Apakah yang bisa kita pelajari dari hadits ini?
Bila engkau adalah kepala keluarga, tidak bisakah engkau mencari jalan keluar yang lebih indah untuk dapat mendahulukan kecintaanmu kepada Allah dengan cara yang sama sekali menghindari akibat-akibat tersakitinya perasaan istrimu, atau timbulnya kekecewaan dalam hatinya, walau pada dasarnya dia ridho bila engkau mendahulukan kecintaan kepada Tuhanmu?
Ketika engkau ingin menyantuni anak yatim misalnya, atau menyantuni salah satu dari saudara-saudaramu. Bila dia adalah istrimu, insyaAllah dia akan sangat senang ketika engkau ingin menyantuni anak yatim. Karena dia mengerti itu adalah bukti kecintaanmu kepada Allah SWT. Tapi kira-kira bagaimana JALAN yang akan engkau tempuh, atau CARA yang akan engkau gunakan agar dengannya engkau tidak perlu membuat dia merasa tidak ridho dengan CARA tersebut atau bahkan tersakiti perasaannya?
Haruskah engkau mengorbankan apa saja termasuk mengorbankan perasaan istrimu? Tidakkah engkau seharusnya mencintai dia lebih dari engkau mencintai orang lain? Bukankah Rasulullah mengajarkanmu bagaimana cara mencintai istrimu ketika engkau mencintai Allah diatas segalanya? Haruskah engkau menunjukkan kepada istrimu bahwa (diluar konteks kecintaan kepada Allah) engkau lebih mencintai orang lain ketimbang istrimu?
Tidakkah kita tahu bahwa haram bagi seorang suami menyakiti istrinya secara fisik maupun secara psikologis? Padahal Rasulullah mencontohkan cara yang begitu mulia ketika mendahulukan kecintaan kepada Allah ketimbang kepada istri. Pilihlah! Sekali lagi, pilihlah cara yang lebih ma’ruf dan lebih membuat istrimu ridho.
InsyaAllah dia tidak melarangmu untuk mendekat kepada Tuhanmu dengan menyantuni anak yatim. InsyaAllah dia sangat suka melihatmu mencintai keluargamu. Tapi dia tidak ingin engkau memilih cara yang tidak ahsan, tidak baik. Dan mungkin sikapmu telah membuatnya tersakiti. Mudah–mudahan dengannya engkau dan istrimu akan beroleh keridhoan Allah yang lebih sempurna. Allahumma Aamiin
Bila dia adalah istrimu, apakah yang akan engkau lakukan sekarang?
Sumber : al-ukhuwah-wal-ishlah