Keterlibatan kaum muslimin, khususnya para aktifis da’wah (da’i), dalam dunia bisnis bukanlah suatu fenomena baru. Sejarah mencatat, da’wah Islam masuk kali pertama ke Nusantara ini di bawa oleh para da’i dari benua seberang yang diutus oleh Kekhalifahan Utsmaniyah, yang juga pebisnis ulung. Rasulullah saw sendiri terlibat dalam urusan bisnis selama belasan tahun untuk mem-back up kegiatan da’wahnya. Islam memang menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis.
Namun, kaum muslimin saat ini menghadapi masalah yang dilematis. Di sebagian kalangan umat Islam, terutama yang sangat dipengaruhi faham sufiisme, beranggapan bahwa bisnis adalah “godaan duniawi” yang dapat menjauhkan umat dari “kelezatan ukhrawi”. “Biarlah orang-orang kafir itu kini berlomba membuat bangunan-bangunan megah di dunia. Kita, orang-orang beriman, tengah mempersiapkan membangun istana di surga kelak”. Sebenarnya golongan ini memerlukan uluran tangan untuk meringankan kehidupan ekonominya yang memprihatinkan, namun karena ideologi dan pilihan hidupnya, menyebabkan sulit bagi pihak lain untuk menolongnya keluar dari himpitan kebutuhan hidup yang rasional. Ketika para penganut mazhab ini semakin banyak dan berkembang, maka dapat dipastikan bahwa secara makro, kehidupan ekonomi bangsa di negara tersebut masuk dalam kategori “hidup di bawah garis kemiskinan”. Dampaknya adalah, tertinggalnya peradaban bangsa tersebut dalam pergaulan internasional.
Sementara, di sebagian kalangan umat Islam lainnya yang telah sadar akan pentingnya membangun kekuatan ekonomi, dihadapkan pada masalah ketidakpastian, kekaburan dan ketidakmengertian akan praktek-praktek bisnis yang benar menurut syari’at Islam. Mengingat jenis, bentuk, metode dan teknik-teknik bisnis yang berkembang sekarang ini belum pernah ada dan dipraktekkan di jaman Nabi. Perdagangan saat ini bukan saja meliputi produk barang dan jasa, tetapi bahkan merambah pada sektor ideologi dan idealisme. Komunitas massa dan jaringan pun kini dapat dikomersialisasi dan dimonetisasi. Pasar sebagai wahana transaksi bisnis, bukan lagi hanya terjadi di mall-mall atau bursa-bursa saham, tetapi juga di mimbar-mimbar parlemen yang terhormat. Uang atau surat berharga bukan lagi satu-satunya alat tukar pembayaran dalam transaksi, tetapi ada yang lebih istimewa, yakni posisi dan jabatan.
Selain karena hal-hal tersebut di atas adalah baru, bentuk dan jenis bisnis tersebut kini berkembang populer dan bahkan menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dari sistem ekonomi dan praktek bisnis kontemporer. Sebagian umat Islam, terutama para aktifis da’wah dilanda kebingungan, apakah praktek-praktek bisnis tersebut sesuai dengan ajaran Al-Qur’an, atau bertentangan. Fenomena semakin maraknya praktek-praktek bisnis jenis baru tersebut jelas mesti disikapi secara arif, agar umat Islam tidak terseret sikap ekstrim: meninggalkan sama sekali urusan duniawi yang telah dipenuhi oleh praktek bisnis kotor; atau terjun bebas mengikuti arus serba boleh dengan dalih: Prinsip Islam adalah membolehkan segala sesuatu dalam urusan muamalah, hingga ada nash yang jelas mengharamkannya!
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjelaskan secara jernih praktek-praktek bisnis yang islami, sehingga dapat menjadi pijakan dalam mengarungi dunia bisnis.
Antara Amal (Kerja) dan Tijarah (Bisnis)
Islam Mewajibkan Kerja
“Dan katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan¬Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)
“Barangsiapa yang mengerjakan perbuatan baik maka (hasilnya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (balasannya) untuk dirinya sendiri, dan sekali-kali Tuhanmu tidaklah me¬nganiaya hamba-hamba (Nya).” (Fushshilat: 46).
“Tak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhan-Mu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, ber¬zikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-Baqarah : 198). [3]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan pernia¬gaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan jangan¬lah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya adalah Allah Maha Penya¬yang kepadamu.” (An-Nisa’ : 29).
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar dan menuju kepadanya dan mereka tinggal¬kan kamu sedang berdiri (berkhotbah). “Katakanlah apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan?” dan Allah adalah sebaik-baik Pemberi rizki.” (Al-Jumu’ ah : 10-11).
“Dan tiap-tiap orang memperoleh hasil (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-An’ aam : 132).
Islam menetapkan kerja (amal) sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan dirinya. Bukan hanya sebatas itu, Islam juga telah mengangkat kerja (amal) pada level ”Wajib” dengan menyebutkan kerja (amal) itu secara konsisten sebanyak 50 kali yang digandengkan dengan iman, alladzina amanu wa ‘amilu al-shalihat. [5] Karena adanya pene¬kanan terhadap amal (kerja) inilah yang membuat Abdul Hadi mengatakan: Al-Islamu ‘aqidatu ‘amalin wa ‘amalu ‘aqidatin (Islam adalah ideologi praktis sekaligus praktek ideologi). [6] Ismail Raji Al-Faruqi secara simpatik mengatakan bahwa Islam adalah a religion of actions (agama aksi). Saat menerangkan sikap Islam pada ekonomi dan bisnis, dia menyatakan: ”memenuhi dunia, ruang dan waktu dengan nilai-¬nilai, bukan hanya penting bagi agama namun ini adalah kepentingan agama.” [7]
Hubungan antara iman dan amal (kerja) itu sama dengan hubungan antara akar dan pohon. Yang salah satunya tidak mungkin bisa eksis tanpa adanya yang lain. Islam tidak mengakui bahkan menolak keimanan yang tidak membuahkan amal yang baik. [8] Al-Qur’an dengan tegas menga¬takan bahwasanya jika seorang Muslim selesai melakukan shalat Jumat, sebagai ibadah ritual pekanan, hendaknya dia kembali melakukan aktivitas kerjanya. Dengan kata lain, pekerjaan yang dia lakukan hanya bisa dihentikan dalam waktu sementara pada saat dia melakukan ibadah shalat. [9] Dengan berdasar¬kan perintah ayat Al-Qur’an (62: 10; 19; 93 dan 67: 15) Ibrahim Ath-Thahawi dan Abdul Mun’im Khallaf menyatakan bahwa kerja (amal) adalah sebuah faridhah (kewajiban) dimana setiap orang akan dimintai pertanggungan jawabnya. [10]
Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi, [11] dan Allah telah menundukkan semesta ini untuk kepentingan manusia. [12] Sebagai khalifah ia berkewajiban untuk membangun dunia ini dan mengeksplorasi sumber-sumber alamnya dengan cara yang benar dan profesional. Sebagaimana Allah berfirman,
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (Huud : 61).
Produktif dalam kehidupan bukan saja direkomendasikan oleh Islam, namun itu adalah sebagai tuntutan Islam. [13]
(bersambung)
Referensi:
- Kitab Kejadian; Lukas : 12: 22 – 31, Matius : 6 : 25 – 34. Lihat Muhammad Mubarak, Nizham Al-Islam Al-Igtishadi wa Qawa’d Ammah, Beirut. Dar aI-Fikr. . 1972, halaman 20.
- Lihat Muhammad Mubarak : 20.
- Al-Baidhawi menafsirkan, “Ini adalah sebuah ungkapan bolehnya seseorang untuk melakukan bisnis pada saat sedang melakukan ibadah haji (Lihat, Abdullah bin Umar Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrarat-Ta’wil, KairoAl-Mathba’ahAl-Maimaniyyah, 1902). Sedang¬kan Abdullah Yusuf Ali mengatakan; “Perdagangan yang halal dibolehkan baik untuk kepen¬tingan seorang pedagang yang jujur, yang mampu membiayai ongkos perjalanan hajinya, ataupun para jamaah haji secara umum, yang membutuhkan demikian besar kebutuhan hidup. Namun poin penting yang harus selalu diingat adalah hendaknya perdagangan itu dilakukan untuk men¬cari karunia Allah. Oleh sebab itulah tidak boleh teijadi pencatutan dan pengambilan untung yang berlebih-lebihan ataupun tipu daya dalam perdagangan tersebut. Sebuah perdagangan yang baik dan jujur adalah sebagai bakti dan pengabdian terhadap masyarakat dan sekaligus ibadah kepada Allah.” (Lihat : Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran : Text, Translation and Commen¬tary, Beirut: Daar Thiba’ah wa Nasyr wa at-Tawz’, 1968, halaman 79, no. 219.
- Al-Qur’an : 94 : 7 dan 9 : 105. Untuk mengetahui hadits-hadits yang relevan dengan bahasan ini lihat karya Abdul Hadi di atas pada halaman 152.
- Abdul Hadi, 152
- Ibid : 152,157
- Ismail Raj’i Al-Faruqi, Is Islam Definable in Terms of his Economic Pursuit, dalam buku Islamic Perspectives, editor Khursyid Ahmad dan Zafar Ishaq Anshari, Leicester, Islamic Foundation. 1979, hal. 188.
- Abdul Hadi, op. cit., 158
- Al-Qur’an : 62: 10
- Ibrahim Ath-Thahawi, Al-Iqtishad Al-Islami, Kairo, Majma’ al-Buhuts Al-lslaniiyvah, 1974. volume I, hal. 246, 250) dan Muhammad Abdul Mun’ im Khallaf, Al-MadiyyahA1-Islamiyyah wa ‘Ab’duhu, Kairo. Daar al-Maa’rif, tanpa tahun, hal. 165 dan 167.
- Al-Qur’an : 2 : 30; 35 :39
- Al-Qur’an : 14:32; 22: 65: 31 : 20: 45: 12-13
- Al -Qur’an : 2 : 168; 62: 10; 4 : 29. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang hadits-hadits yang relevan dengan bahasan ini lihat karya Abdul Hadi, opt.cit. 157; dan Hammudah Abdal’ati, “Islam in Fokus “, Indianapolis, American Trust Publications, 1976, hal. 126.
Sumber : eramuslim