Akhwatmuslimah.com – Semasa masih remaja puteri, bercita-cita beroleh anak, sampai tua dan beruban belum juga dianugerahi Allah seorang anak pun. Cita-cita untuk beroleh anak inilah yang selalu menggoda ketenangan hati dan kebahagiaan hidup perempuan tua yang kita ceritakan ini, yaitu isteri Imran.
Lebih-lebih ketika matanya menuju memandang burung-burung yang dengan riang gembira berterbangan ke sana ke mari dengan anak-anaknya, berkicauan dan bersiul-siul, berebut ulat dan buah-buahan. Demikian pula perempuan tua ini melihat perempuan-perempuan lain sedang menggendong dan membuaikan anak-anak bayi mereka, membelai dan menyanyikan anak yang menjadi buah hati mereka, dengan kasih sayang dan kegembiraan penuh. Apalagi melihat anak-anak orang yang sudah besar-besar, datang dan pergi bila dipanggil dan disuruh ibu bapaknya. Sedang perempuan tua ini hidup sebatang kara hanya dengan suami yang sudah tua dan sepi, karena tidak seorang anak pun yang berada di samping keduanya untuk memecahkan kesepian hidupnya itu.
Siang menjadi angan-angan, malam menjadi buah mimpi, sehingga sudi dan rela hatinya mengorbankan apa saja yang ada padanya asal saja dia dapat beroleh seorang anak yang terdiri dari darah dan dagingnya sendiri. Anak, sekali lagi anak dan seterusnya anaklah yang menjadi impian dan idamannya sepanjang masa.
Siang berganti malam, hari berganti bulan, bulan berganti tahun dan sudah berpuluh-puluh tahun konon lamanya, cita-cita ini tetap menjadi cita-cita saja, namun dia belum juga beroleh yang dicitakannya itu. Hatinya mulai kesal, rasa putus asa mulai bertunas dalam kalbunya, karena umur yang dicapainya ini rasanya tidak memungkinkan lagi untuk beroleh anak, fikirnya. Tidaklah berarti bahwa cita-citanya itu telah padam. Tidak, malah bertambah hebat dan bernyala-nyala juga. Akhirnya dia menghadapkan muka dan seluruh jiwa raganya kepada Allah Yang Maha Kuasa, yang menjadikan langit dan bumi. Berdoalah dia dengan khusyu dan khudhu agar kiranya Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih, yang mendengar segala doa yang sanggup membuat apa kehendakNya, mengaruniai dengan seorang anak.
Untuk menguatkan doanya ini, ia bernazar, berjanji kepada Allah tempat dia meminta itu, bahwa bila doanya mi terkabul, maka anak yang akan diperolehinya itu, akan didermakannya bulat bulat tanpa syarat untuk Rumah Suci Baitul Maqdis, sebagai abdi Allah dan pengawal Rumah Suci itu. Tidak akan dipekerjakan, selain untuk mengabdikan diri dan menyembah Allah semata di tempat suci itu.
Allah mendengar dan mengabulkan doa perempuan tua itu. Perempuan tua itu mulai merasakan sesuatu yang bergerak dalam rahimnya.
Bukan main girang dan senang hatinya. Dunia yang mulanya gelap gelita dan lapuk dalam pemandangannya, kembali menjadi terang dan muda dalam pandangannya, penuh dengan cahaya terang benderang. Hilang rasanya segala pandangan gelap dan kegelisahan hati selama itu.
Duduklah dia di samping suaminya (Imran) dan menerangkan apa yang terasa dalam kandungannya itu. Dan mata suaminya yang sudah tua itu terpancarlah cahaya kegembiraan yang kilau kemilau, diiringi oleh beberapa titis airmata tanda kegembiraan yang tidak terhingga hebatnya.
Tetapi……, riang dan sedih tidak ada yang kekal di atas dunia ini. Dalam keadaan riang gembira yang penuh nikmat itu, seakan akan berada dalam mimpi menunggu kelahiran seorang putera yang sudah lama dicita citakan itu, tiba-tiba kegembiraan dan kenikmatan perasaan itu berganti dengan nasa sedih dan pilu, kerana suaminya yang tua yang dicintainya itu pulang ke rahmatullah, menemui Tuhannya sebelum dapat melihat dengan biji matanya, akan anak yang ditunggu-tunggu dan di idam-idamkannya itu.
Tinggallah perempuan tua itu seorang diri, diselubungi oleh perasaan sedih dan pilu ditinggalkan suami yang sangat dicintainya, sekalipun dalam dadanya penuh rasa harap dan gembira, bersemi pula memenuhi kalbunya menanti nanti kelahiran sang bayi dan kandungannya, yang sudah sekian lama di idam-idamkannya. Belum pernah kiranya seorang manusia di dunia ini yang diserang rasa sedih dan pilu bersamaan waktunya dengan perasaan gembira dan nikmat, sebagai perempuan tua janda Imran ini.
Dengan perasaan sedih bercampur gembira dan harap itu dia merasakan bahawa dia sudah dekat bersalin. Segala sesuatu disiapkannya, lalu kandungannya itupun lahirlah.
Setelah diketahuinya, bahwa bayi yang dilahirkannya itu adalah perempuan, dia pun mengeluh lagi, karena bukanlah sebagai yang dicita-citakannya selama ini. Seorang perempuan tentu tidak dapat dijadikan abdi Rumah Suci Baitul Maqdis, fikirnya. Dengan perasaan duka dan sedih pula, bayi yang baru lahir itu diberi nama dengan nama yang sudah diwahyukan Tuhannya; yaitu Maryam yang berarti Pengabdi Tuhan.
MARYAM (WANITA PALING MULIA DI MUKA BUMI)
Janda Imran mendoakan anak bayinya yang bernama Maryam itu kepada Tuhan, agar Allah menjaga dan melindunginya dan segala noda dan cela, agar amal dan pekerti anak itu nanti sesuai dengan nama yang diberikanNya itu. Dia doakan pula, agar Maryam dan keturunannya diperlindungi Allah dari godaan godaan syaitan yang laknat.
Dia sudah nazarkan anaknya itu untuk menjadi abdi di Rumah Suci. Tetapi dapatkah gerangan seorang perempuan menjadi abdi di Tempat Suci? Bukankah perempuan itu tidak dapat disamakan dengan lelaki? Dia sangat khawatir dan gelisah lagi, kesedihan dan kegelisahan yang tidak kurang hebatnya dan kesedihan dan kegelisahannya di kala suaminya meninggal dunia.
Tetapi apakah daya, selain memohon dan menyerah ke hadhrat Allah mendoa petang dan pagi dengan tidak putus-putusnya, agar anaknya itu diterima Allah menjadi abdi di Rumah Suci, sebagai yang dinazarkannya itu. Semua doanya itu dijawab oleh Allah dengan jawaban yang sebaik baiknya. Kepadanya diilhamkan Allah, bahwa nazarnya itu akan dikabulkan Allah, anaknya itu akan diterima Allah sebagai abdi di Tempat Suci Baitul Maqdis.
Dengan diam-diam, pada suatu malam anaknya yang masih kecil itupun dibungkusnya baik baik dengan kain, digendongnya dan dia lalu berjalan menuju Baitul Maqdis, Tempat Suci. Di Tempat Suci itu ditemuinya semua pendeta yang menjadi pegawai Tempat Suci itu. Kepada pendeta itu dia berkata: Anak perempuan ini aku serahkan kepada tuan-tuan, karena saya sudah bernazar untuk menyerahkan anakku ini untuk menjadi abdi Rumah Suci ini.
Alangkah tabah dan kesatrianya hati yang dimiliki perempuan ini. Dia baru saja kehilangan suami, sekarang anaknya yang hanya seorang, yang di idam-idamkan dan dicita-citakannya berpuluh tahun lamanya itu, diserahkannya pula untuk Tempat Suci memenuhi nazarnya, karena taat akan janji dan nazar yang sudah diucapkannya ke hadirat Allah SWT.
Dia segera pulang ke rumahnya, meninggalkan anak kandungnya. Bukan air mata yang tercurah dan matanya saban dia teringat akan anaknya, atau dia mendengar berita yang dibawa orang lalu tentang keadaan anaknya itu, tetapi dia bersyukur memuji Allah dengan hati yang tenang dan sabar. Tidak pernah dia mengeluh dan menyesal.
Maryam sekarang berada di tengah tengah para pendeta di Tempat Suci Baitul Maqdis. Masing-masing pendeta ingin agar dia sendirilah yang menjadi pengasuh dan memelihara Maryam. Berbagai-bagai alasan yang mereka kemukakan, untuk mendapatkan keinginannya terhadap Maryam.
Yang paling keras dan paling kuat alasannya di antara para pendeta itu, ialah seorang tua yang bernama ZAKARIA (Nabi Zakaria), paman Maryam : Serahkanlah pengasuhan dan pemeliharaan Maryam kepada saya, kata Zakaria. Sayalah yang paling berhak menjaga dan mengasuhnya, karena sayalah yang paling dekat perhubungan kefamilian dengannya.
Pendeta-pendeta yang lain pun tidak kurangnya mengemukakan alasan mereka pula, sehingga pertengkaran dan pendebatan semakin sengit, soal jawab semakin hebat. Semuanya ingin menjadi pengasuh Maryam, semua ingin memberikan baktinya terhadap Allah SWT.
Karena tidak seorang jua di antara para pendeta itu yang mau mengalah, akhirnya mereka bersepakat akan mengadu peruntungan masing-masing dengan undian. Mereka lalu berangkat menuju salah sebuah sungai, dimana mereka akan melemparkan tongkat masing masing ke sungai itu dengan perjanjian, tongkat siapa yang tidak tenggelam, maka dialah yang berhak menjadi pengasuh Maryam.
Setelah undian itu dilakukan, maka terbuktilah bahwa tongkat Zakaria saja yang tidak tenggelam, maka para pendeta itupun relalah sekarang menyerahkan Maryam kepada Zakaria, untuk diasuh dan dibesarkan.
Zakaria seorang tua yang belum pernah mempunyai anak, cintanya terhadap Maryam bukan alang kepalang. Segala sesuatu yang dapat menggembirakan hati Maryam, disediakan sebaik baiknya dan secukup cukupnya. Segala keperluan Maryam dia sendirilah yang menguruskannya, baik urusan yang kecil-kecil, apalagi urusan yang besar-besar. Seorang manusia lain, siapapun juga, tidak diizinkannya menghampiri Maryam.
Maryam ditempatkannya di salah sebuah bilik, yang besar di tingkat atas dalam Rumah Suci itu, sedang di bawah bilik itu adalah Mihrab Nabi Zakaria sendiri, dimana Nabi Zakaria setiap waktu beribadat dan mengajar agama kepada setiap orang yang datang belajar. Tidak seorang juga manusia dapat masuk ke dalam bilik Maryam, dengan tidak melalui tangga di mihrabnya itu, sedang tangga itu dijaganya sebaik baik dan serapi rapinya.
Zakaria merasa senang dan tak pernah merasa penat menjaga dan mengasuh Maryam serapi itu, karena hal itu bererti menjalankan amanat Allah. Demikianlah berlangsung bertahun tahun lamanya, sehingga keadaan Maryam semakin lama semakin besar jua.
KEJADIAN ANEH
Pada suatu ketika Zakaria sebagai biasa masuk mihrabnya dan menemui Maryam di kamarnya. Tiba tiba dia melihat makanan terletak di pintu masuk ke kamar Maryam. Alangkah terkejutnya melihat makanan itu disitu, siapakah gerangan yang telah membawa makanan itu ke dalam kamar Maryam dengan tiada seizin dan setahu Zakaria sendiri?
Zakaria amat gelisah memikirkan kejadian ajaib itu, tetapi untuk sementara dibiarkannya saja. Tetapi dia berjaga-jaga, kalau ada orang masuk dengan cara sembunyi sembunyi. Pada hari esoknya dia masuk pula ke kamar Maryam dan didapatinya pula di tempat itu makanan yang baru lagi, lain dari makanan yang sebelumnya. Penjagaan makin diperkuatnya. Lusanya kembali dia melihat makanan yang baru lagi, sudah tersedia pula dengan baiknya di kamar Maryam.
Kecurigaan Zakaria terhadap manusia lainnya mulai berkurangan, tetapi keheranannya semakin menghebat, sebab dia sudah tahu benar, tidak seorang manusia pun yang datang dan masuk ke situ, sebagai yang dicurigainya semula. Kepala Zakaria penuh dengan fikiran dan keajaiban kejadian itu, tentang rahasia yang dihadapinya.
Dia masuk mendapatkan Maryam dan bertanya: Hai Maryam, dan manakah datangnya makanan itu, sedang pintu tetap tertutup dan tidak seorang juga yang dapat masuk ke mari membawa makanan?
Maryam menjawab dengan tenang: Makanan itu adalah dari Allah. Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya dengan tidak berhisab.
Mendengar jawapan Maryam yang tegas dan tenang itu, barulah Zakaria insaf, bahawa Allah sudah menentukan Maryam yang dia jagai itu menjadi seorang hambaNya yang luar biasa, mempunyai kedudukan dan martabat penting di sisi Allah yang belum pernah dicapai dan diduduki oleh perempuan lain di atas dunia ini.
Kasih dan sayang Zakaria terhadap Maryam berubah menjadi penghormatan dan pengkhidmatan yang semakin lama semakin bertambah dan mendalam jua, sehingga penjagaan dan pemeliharaannya semakin teliti dan hati-hati lagi dan yang sudah sudah. Cita-cita baru mulai bersemi dengan kukuh sekali di hati Zakaria.
Zakaria yang sudah tua dan tidak bertenaga lagi itu, kini semakin ingin untuk beroleh seorang anak dari darah dagingnya sendiri. Bukan hanya semata mata ingin beranak, tetapi cita-cita yang jauh lebih agung dan luhur, ialah agar anak yang dicintakan itu dapat meneruskan perjuangan suci menghadapi suasana baru yang akan ditimbulkan oleh Maryam, kerana dia sendiri sekarang sudah tua dan sudah dekat kepada akhir hayatnya. Nabi Zakaria lalu mendoa kepada Allah tentang cita citanya.
Allah mengabulkan doa Nabi Zakaria. Isterinya yang sudah tua itupun mulai mengandung. Tidak lama kemudian lahirlah seorang putera, yang diberi nama Yahya (Nabi Yahya).
Adapun Maryam tetap tinggal di tempatnya, semakin besar dan besar juga, dengan hati yang penuh taqwa, dengan ibadat yang tulus ikhlas. Namanya mulai terkenal kepada setiap orang sebagai seorang puteri yang suci murni, yang terjauh dari segala dosa dan noda. Dia menjadi buah bibir, menjadi contoh dan kata kata julukan segenap ummat yang hidup di masanya itu.
KELAHIRAN NABI ISA
Suatu ketika beliau menginjak dewasa, Maryam pulang ke kampungnya di Nasharat. Di sinilah awal beliau mendapat amanah agung mengenai beliau akan mengandung seorang putra yang tak lain adalah Nabi ‘Isa-’Alayhissalam-. Fenomena langka ini kontan membuat Maryam terkejut dan bingung tak terkira. Ditambah penampakan malaikat Jibril -’Alayhissalam- yang menghampirinya.
Maka Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menunjukkan kebesaran-Nya dengan meniupkan ruh melalui Malaikat Jibril ke dalam rahim Maryam.
Setelah beberpa saat lamanya, Maryam pun kembali pulang ke Ursalim (Yerusalem) dengan keadaan mengandung. Disinilah bermula keimanan dan ketaqwaan Maryam diuji dengan beragam fitnah yang menghujani dirinya. Masyarakat menjadi memandangnya jelek (buruk), menuduh ia seorang pezinah dll. Lalu dengan petunjuk Allah, beliau pergi ke arah timur menuju satu tempat yang jauh.
Sampailah Maryam binti (putri) ‘Imran di suatu tempat di Baitul Laham (Betlehem) sebuah kota Palestina di Tepi Barat (kini), dalam keadaan hamil tua yang tinggal menunggu saat-saat melahirkan dengan keadaan yang lemah dan lelah, namun dengan iman dan ketaqwaanya yang kokoh ia teguh beriman kepada Allah.
Allah –Tabaraka wa Ta’ala– tidak membiarkan ia sendiri dalam keadaanya yang begitu mendesak. Allah kembali mengirim bantuannya melalui Malaikat Jibril.
Dan setelah ia meminumnya, maka ia menggoyang-goyangkan Pohon Korma untuk memakan buah Korma tersebut.
Maka Nabi ‘Isa Almasih -’Alayhissalam- pun terlahir di tempat itu (di Baitul Laham), yaitu terlahir di bawah pohon Kurma tersebut, dengan kelebihan-kelebihan yang telah dianugerahkan oleh Allah -’Azza wa Jalla- kepadanya. Salah satu kelebihan Nabi ‘Isa-’Alayhissalam- adalah, dia mampu berbicara fasih seperti orang yang sudah besar, padahal dikala itu dia masih bayi yang baru saja terlahir ke dunya.
Dikisahkan, Maryam binti ‘Imran membawa anaknya itu yang baru saja terlahir (Nabi ‘Isa Almasih -’Alayhissalam-) ke hadapan orang-orang banyak di Baitul Laham (Betlehem), setelah mereka tau bahwa Maryam memiliki anak tanpa ayah (suami). Mereka semua lantas menuduh Maryam berbuat zinah. Dengan hujatan-hujatan dari mereka itu, kemudian Maryam menunjuk bayinya. Tiba-tiba saja muncul-lah keajaiban (mukjizat). Nabi ‘Isa Almasih yang masih bayi itu tiba-tiba saja bisa berbicara fasih seperti orang yang sudah besar.
Setelah Maryam dan Nabi ‘Isa -’Alayhissalam- beberapa lama tinggal di Baitul Laham, tibalah saatnya bagi Maryam dan anaknya (Nabi ‘Isa) untuk hijrah ke negeri Mesir dikarenakan keamanan yang memburuk di negeri kelahiran mereka. Selama 12 tahun lamanya mereka menetap di Mesir, perjuangan membesarkan nabi Isa Al-Masih -’Alayhissalam- di Mesir dilakukannya dengan penuh kesabaran, sampai-sampai Maryam disana bekerja sebagai buruh tani gandum.
Setelah 12 tahun di Mesir, akhirnya mereka kembali lagi ke Tanah Air asalnya, Palestina, dan menetap disana. Di Palestina, Nabi ‘Isa Almasih diangkat menjadi rasul, beliau terus-menerus berdakwah kepada Bani Isra’il sambil diiringi oleh ibunya sendiri, yaitu Maryam binti ‘Imran, dan dibantu oleh kedua belas murid ‘Isa, yaitu Hawariyyun. [ ]