Setelah ia keluar dari pondok pesantren, Fatimah tumbuh sebagai gadis cantik yang sholihah.
Ia pun kembali memasuki kehidupan diluar. Orang-orang memandangnya tak ubahnya seperti bunga MAWAR putih yang tumbuh diantara rumput ilalang.
Semua lelaki memujanya, percampuran darah indonesia dan Tionghoa yang ada di dalam tubuhnya, membuat ia seperti sebuah lukisan klasik yang nyata dan hidup. Ia seperti bidadari.
Ulama ulama dari seberang pulau, seringkali datang melamar Fatimah. Bahkan tak jarang sahabat ayahnya mencoba melamar Fatimah untuk anaknya.
Tetapi ayah Fatimah yang memiliki hati yang teduh itu, menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada anaknya. Tetapi Fatimah sebagai anak yang sholihah, Fatimah justru menyerahkan hal itu pada ayahnya, menurutnya ayahnya tahu yang terbaik baginya.
Fatimah sangat mengagumi ayahnya karena dia adalah lelaki pertama yang dikenal dalam hidupnya. Seorang lelaki yang bertanggung jawab, selalu tersenyum meski dalam keadaan marah sekali pun, ia adalah lelaki yang selalu mengutamakan ibadah kepada Allah. Bahkan Fatimah seringkali berucap” Jika Allah mendatangkan seseorang yang menemani hidup ku, biarlah ia seperti ayahku…”
Tanpa sepengetahuan Fatimah, ternyata sang ayah diam-diam telah menjodohkannya dengan anak seorang ulama terkenal yang merupakan sahabat baiknya.
Fatimah tak percaya saat ayahnya menyampaikan maksud perjodohan itu, karena ia tahu betul bagaimana akhlaknya pemuda itu, sang pemuda terkenal gemar sekali melakukan kemaksiatan, seperti : JUDI, MABUK-MABUKAN, begadang, bahkan sholatpun tak pernah ia lakukan … bahkan dikampungnya sang pemuda mendapat julukan THE GOD OF GAMBLER … naudzubillah.
Hari-hari ia lalui dengan bersujud pada ALLAH, ia memohon petunjuk pada Allah agar diberikan yang terbaik, ia yakin bahwa ALLAH akan membantunya, karena ia tak berani menolak tawaran dari ayahnya, meskipun pada saat itu seringkali di hantui mimpi-mimpi buruk, dan itu yang membuatnya resah dan gelisah yang mebuat ia semakin bingung, karena ia punya prinsip “Tujuan hidup ku adalah membahagiakan ayahku apapun keputusannya bagaimana aku menolaknya???”
Akhirnya, ia memutuskan untuk menerimanya, dan hari yang dikhawatirkannya itu tiba juga. Dan ia sempat pingsan saat hari pernikahan itu, ia tidak percaya bahwa akad itu telah terjadi.
Namun keresahan itu juga terjadi pada Ikhsan (nama sang pemuda tersebut) saat akad nikah, dadanya bergetar hebat. Ia tak kuasa memandang pesona yang dimilki Fatimah “ Benarkah aku layak menjadi suaminya?? Fatimah terlalu baik untuk ku !! Sedangkan aku ?? tak ada satupun yg bisa aku banggakan dariku !! aku peminum !! aku penjudi !! apakah ini NYATA ????
Ditengah malam, tanpa sepengetahuan Fatimah dia melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan, yaitu SHOLAT !! dalam sholatnya ia bersujud panjang dan bersyukur tak habisnya atas karunia yg telah diberikan Allah meski maksiat kerap kali dilakukannya, dalam sujud panjangnya dia selalu berdoa “Ya Allah, kasihanilah aku, ampunilah aku, bantulah aku… Ya Allah apakah betul Zamrud biru nan indah itu (fatimah) untukku??”
Waktu berlalu dengan DO’A dan KESUNGGUHANnya, sehingga hari- hari berganti dengan sebuah perubahan yang dahsyat, kini Ikhsan telah berubah ia telah meninggalkan kebiasaan buruknya itu. Gadis nan indah itu telah merubah pandangannya tentang hidup hingga ia mampu meninggalkannya.
Hingga pada suatu malam Fatimah menyaksikan peristiwa yang menggetarkan jiwanya .. . Saat itu Fatimah bangun malam hendak melaksanakan sholat Tahajjud, namun saat ia memakai mukena ia mendengar suara orang yang mengendap-endap di ruangan tamu, saat ia intip dari kamarnya ternyata sang suaminya hendak meninggalkan rumah, Fatimah tak berani mencegahnya ia hanya mampu mengintip, namun pikirannya mulai berpikir yang tak baik tentang suaminya, ia khawatir suaminya kembali ke kebiasaannya yang buruk dulu hingga ia berani keluar malam lagi.
Ketika suaminya sudah mulai menjauh akhirnya ia mengikutinya dari belakang, ternyata sang suami masuk ke sebuah masjid.
“Ya Allah aku bersyukur pada MU telah engkau karuniakan seorang perempuan yang cantik, baik dan shalihah … setiap hari ia berbakti kepada ku, menyiapkan segalanya untuku, mencucikan bajuku, memasak untuku, menimba air untukku, membacakan kalam Mu untuk menyadarkanku dari khilafku pada MU …
Tetapi hamba belum menyentuhnya, ya ALLAH, hamba tak pantas melakukan itu semua. Dan aku tau itu membuatnya terluka …
Hidupku terlalu pekat oleh dosa-dosa padaMU dimasa lalu. Tetapi engkau memberikan hadiah yang sangat besar untuk hidup ku … Kehadiran Fatimah disampingku adalah karunia terbesar dari MU untukku …
.. Maka dari itu ya ALLAH, agar Fatimah tetap bersemi INDAH, bercahaya setiap waktu, damai dalam munajatnya kepadaMU setiap waktu .. Aku mohon ya Allah, siapkan seorang suami yang setara dengannya. Dan Engkau pasti tak mau melukai hambaMU Fatimah dengan membuatnya tersiksa bersuamikan hamba … Kabulkanlah ya ALLAH..”
Mendengar itu, Fatimah bergetar hebat ia menangis dan bersujud di depan pintu masjid. ‘Akulah yang berdosa, akulah yang berdosa, aku telah menyimpan pikiran buruk bagi hambaMU yang mulia, yang telah KAU tunjuk menjadi suamiku .. Ampunilah hamba ya Allah .., Bisikan kedalam hati lelaki itu, bahwa aku mohon maaf, dan betapa aku mengagumi dan mencintainya. Ya Allah izinkanlah ia menjadi suami ku selama-lamanya ..
Isak tangis yang ditahannya sejak tadi kini meledaknya. Memecah keheningan, sambil menangis ia merangkak menghampiri suaminya.
Ikhsan terperangah “apakah Fatimah mendengar doaku??” pikirnya, dan kini ia semakin tak dapat menggerakkan seluruh sendinya, karena Fatimah telah berada dihadapannya, dan memeluk erat tubuhnya. Ia tak percaya, sungguh tak percaya!!
Tangannya bergetar, saat pertama kalinya membelai kepala istrinya, hati dan matanya-pun kini semakin basah.
“Kakak, jangan tinggalkan Fatimah !! mengapa kakak berniat seperti itu?? Aku adalah istrimu kak, selamanya tetap menjadi istrimu !! jangan berpikir seperti itu, tersendat suaranya menahan isakan tangis.
“kumohon jadilah suami !! Kumohon maafkanlah aku selama ini, telah berfikir buruk padamu. Aku mencintaimu kak”
Perlahan-lahan Ikhsan memeluk dengan lembut istrinya dengan segenap cinta, dan dengan lirih ia berucap, ”Ya Allah, Engkau datangkan lagi karunia yang BESAR untuk hambaMu ini,..alhamdulillah”
(di kutip dari buku “Bunda, aku kembali” karya “Lalu Mohammad Zaenuddin” hal 59,)