Meski masih menjadi perdebatan di Turki, apakah seorang perempuan diijinkan mengenakan jilbab saat bekerja, tiga perempuan anggota parlemen ini dengan kuat dan teguh tetap mengenakan jilbab. Menurut mereka, mengenakan jilbab adalah hal yang tepat dilakukan seorang muslimah dan tidak menganggu kinerja mereka.
Perdebatan tentang diizinkan atau tidaknya seorang muslimah mengenakan jilbab dalam bekerja, telah berlangsung sekian lama di Turki. Partai oposisi di Turki, Partai Republik Rakyat Turki (CHP), tetap melarang penggunaan jilbab. Alasan dilarangnya mengenakan jilbab ini karena Turki dianggap sekuler.
Salah seorang anggota parlemen dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), Konya Gulay Saman dengan teguh berkeras akan mengenakan jilbab setiap ia berangkat kerja.
“Saya telah merasa menjadi muslimah yang komplit setelah pulang dari Haji dan akan lebih komplit lagi ketika kembali ke Turki dengan mengenakan jilbab setiap hari,” ujarnya, dilansir dari onislam, Kamis (31/10).
Ia dengan kukuh akan melanjutkan hidup dengan cara yang ia mantap pilih sekarang, yaitu mengenakan jilbab. Menurutnya, negara Turki seharusnya bisa menerima orang dengan perbedaan, serta menghormati gaya hidup apa yang dipilih warganya serta pikiran mereka.
“Saya yakin tidak akan ada masalah jika orang bisa menerima satu sama lain untuk mengenakan apa yang mereka inginkan dan sesuai dengan kepercayaan mereka,” ujarnya. Jilbab salah satunya.
Ia tidak sendiri. Dua perempuan anggota parlemen yang lain juga kini memberanikan diri untuk tampil mengenakan jilbab saat bekerja.
Mereka adalah Denizi Nurcan Dalbudak dan Kahramanmaras Sevde Beyazıt Kacar. Keputusan mereka sudah bulat, dan dengan niat semata-mata untuk ibadah, dan merasa dengan memakai jilbab lah mereka merasa komplit sebagai muslimah, bukan untuk memicu konflik.
Mengenakan jilbab, yang mana merupakan sebuah kewajiban bagi seorang Muslimah, mengalami proses perubahan pada perizinannya di Turki. Dulu, di tahun 1980, jilbab dilarang dipakai di tempat publik, universitas, sekolah, dan instansi pemerintahan. Pihak yang kukuh melarangnya, sebagian besar adalah pihak militer dan akademisi.
Keadaan pun berbalik pada tahun 2008, ketika Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mengubah beberapa kebijakan dan membolehkan mengenakan jilbab di instansi pendidikan, terutama di universitas.
Pembolehan mengenakan jilbab pun semakin meluas beberapa tahun kemudian. Pada November 2012, Turki telah mencabut larangan mengenakan jilbab yang telah bertahan dalam beberapa dekade ini di sekolah-sekolah Islam.
Terakhir, September lalu Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan, membuka kesempatan lebih luas lagi bagi para perempuan yang ingin mengenakan jilbab saat bekerja. Larangan penggunaan jilbab di instansi pemerintahan telah dicabut, kecuali bagi yang bekerja sebagai hakim, jaksa, polisi, dan anggota militer.
Sayang, kebijakan yang membahagiakan ini tidak sepenuhnya lancar. Ada beberapa pihak, salah satunya adalah partai oposisi Turki, yaitu Partai Republik Rakyat Turki (CHP), yang tetap kukuh untuk melarang mengenakan jilbab bagi perempuan anggota parlemen. “Kami tidak akan membiarkan hal ini terjadi, kami akan tetap melanggengkan tradisi yang melarang anggota parlemen mengenakan jilbab,” ujar Wakil Ketua CHP, Faruk Logoglu.
Pihaknya pun mengatakan akan melakukan segala cara agar pelarangan mengenakan jilbab untuk anggota parlemen tetap dipertahankan. Dari melakukan perdebatan secara internal, hingga akan menyatakan keberatan pada publik.
Meski menghadapi penolakan tersebut, tiga perempuan muslimah ini tak gentar. Jika ada satu partai yang menolak, masih ada harapan karena partai yang lain mengizinkan.
Mereka mendapatkan dukungan dari partai Partai Gerakan Nasionalis (MHP) dan Partai Perdamaian dan Demokrasi (BDP). Pimpinan kedua partai ini telah menyatakan bisa menerima perempuan anggota parlemen mengenakan jilbab saat bekerja. [Republika]