Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ahmad
Jawaban:
Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d
Secara hukum fiqh yang baku, urusan mengkhitbah wanita itu tentu menjadi urusan orang tua wanita itu atau walinya. Khitbah itu tidak ditujukan langsung kepada wanita itu apalagi kepada murabbiyahnya. Selama kami belajar ilmu fiqih tidak pernah ada satu kitab pun yang mengatakan bahwa mengkhitbah wanita itu ditujukan kepada guru ngaji seorang wanita. Kalau sampai ada, tentu ini sebuah mazhab baru yang tidak ada punya panutan dalam dunia fiqih.
Maka sebaiknya Anda tidak mencampur adukkan antara hukum fiqih dengan etiket berjamaah atau lebih tepatnya etiket bermurobbi. Sungguh tiap murabbi itu punya gaya pendekatan yang beragam, tidak sama antara satu dan yang lainnya. Ada yang gayanya bak komandan perang yang menjadikan mad’unya sebagai prajurit. Tetapi ada yang seperti orang tua ideal. Ada juga yang seperti teman atau shahabat yang sangat paham isi hati dan mengayomi. Dan ada juga yang tipenya cuek bebek alisan masa bodo.
Maka urusan etiket dengan murabbi Anda, silahkan Anda tanya dan konsultasikan sendiri dengan murabbi Anda. Tanya yang detail tentang maunya beliau, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Jangan sampai Anda tiba-tiba divonis bersalah lalu dikucilkan dari “jamaah” padahal Anda sama sekali tidak tahu maunya dia itu apa sih. Atau lebih tepatnya, selera dia itu seperti apa.
Namun bila Anda bertanya tentang hukum syariah mengkhitbah, maka mengajukan khitbah itu harus kepada wali atau ayah kandung seorang wanita. Sedangkan masalah ijin dan kebolehan murabbi, kira-kira sama saja seperti meminta ijin atau kebolehan dari orang tua Anda. Keduanya manusia dan keduanya punya gaya dan selera sendiri-sendiri.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
Sumber : syariahonline.com