“Mengapa?” tanya temannya sambil menemani meninggalkan mushala.”Karena ia menolak ajakanku malam itu,” jawabnya.”Kau sudah memaafkannya?” Tidak ada jawaban hingga keduanya berpisah, masuk ke ruang kerja masing-masing.
Seringkali manusia tidak proporsional dalam memandang kehidupan dan menyikapi permasalahan di dalamnya. Termasuk laki-laki, dalam bab hak dan kewajiban suami istri. Seperti penggalan kisah di atas. Dan itu bukan satu-satunya kasus.
Tentu hadits yang disampaikan lewat speaker mushala itu benar. Namun mengapa justru pemahaman yang diambil adalah “justifikasi” atas egoisme yang selama ini ada dalam diri. Setidaknya, mengapa ada suami –sadar atau tidak- yang suka jika istrinya berdosa? Kalau memang salah, bukankah lebih baik jika dibimbing dan dimaafkan? Bukan dimasukkan dalam daftar hitam dibalut dendam.
Ini renungan bagi kita semua. Para suami. Terlebih jika istrinya seperti istri lelaki dalam kisah di atas; bekerja. Bukankah itu berarti istri telah membantu suami meringankan kewajibannya? Dengan berlelah-lelah turut mencari nafkah. Lalu di rumah ia harus mendidik putra-putrinya. Tanpakhadimat, ia pula yang menangani hampir semua urusan domestik; membersihkan rumah, mencuci, menyetrika. Dengan agenda kegiatan harian sebanyak itu, wajar jika pada hari-hari tertentu istri keletihan. Lelah. Maka, dalam kondisi demikian kadang-kadang istri menolak “ajakan” suami.
Tentu berbeda jika penolakan itu selalu terjadi atau sering dilakukan istri. Yang lebih parah, jika tanpa alasan. Dalam kondisi ini suami layak marah. Dan jika suami marah, “malaikat melaknat istri itu hingga pagi.”
Marilah kita berkaca pada diri Nabi. Suami ideal yang telah mensabdakan hadits itu. “Beliau biasa menjahit pakaiannya,” kata Aisyah istri tercinta, “menjahit sandalnya, dan mengerjakan apa yang biasa dikerjakan kaum laki-laki di rumah.” Maka bagi suami yang suka menuntut istri, sudahkah ia memberikan hak kepada istrinya juga? Sebab bagi suami egois, yang ada adalah menuntut dan meminta.
Menuntut agar istrinya tampil cantik, sedangkan ia tak pernah bercermin. Menuntut istrinya selalu rapi di hadapannya, sementara ia sendiri tidak memperhatikan betapa awut-awutan rambutnya. Menuntut istri menyediakan makanan-makanan lezat, sedangkan uang belanjanya tak cukup memenuhi permintaannya. Memarahi istri saat tidak memenuhi ajakannya, sementara ia tak pernah merespon ketika istri membutuhkan dan memberi isyarat padanya.
Bisa jadi salah satu sebab itu terjadi adalah karena kurang pahamnya suami istri akan hak dan kewajiban masing-masing. Kurang komprehensif dalam memahami tuntunan Islam, hanya mengambil setengah-setengah. Sebagian. Melupakan sebagian lainnya. Apalagi jika yang dipahami adalah haknya saja. Misalnya karena suami hanya membaca buku “Kewajiban Istri dan Hak Suami” sedangkan istrinya justru membaca, “Kewajiban Suami dan Hak Istri.” Jadilah keduanya saling menuntut. Bukan saling memahami.
Alangkah indahnya jika suami istri saling memahami, saling mencintai, saling berbagi dan saling meringankan beban. Seperti kata Ali, “Demi Allah, aku selalu menimba air dari sumur hingga dadaku terasa sakit,” lalu dengan penuh cinta Fatimah menimpali, “Dan aku, demi Allah, memutar penggiling gandum hingga tanganku melepuh.” Wallaahu a’lam bish shawab.[Muchlisin]
Sumber : Bersamadakwah.com