Akhwatmuslimah.com – Assalamu’alaikum. Saya punya tiga pertanyaan : 1. Bagaimana hukumnya membuka jilbab di depan suami kakak (kakak ipar) 2. Seberapakah batasan panjangnya jilbab? 3. Bagaiman tentang hadits jika wanita keluar harus disertai mahramnya, jika dihubungkan dengan akhwat yang harus kos karena merantau untuk kuliah. Dan juga jika ada acara misalkan raker LDK yang disana ikhwan dan akwat bermalam di satu tempat walaupun berlainan ruangan. Maaf kalau pertanyaannya membingungkan.
Jawaban:
Assalamu `alaikum Wr. Wb. 1. Suami kakak atau sering disebut sebagai kakak ipar bukanlah termasuk mahram. Sehingga seorang wanita tidak diperkenankan untuk memperlihatkan sebagian auratnya di hadapan suami kakaknya itu. Memang adat budaya kita sering sedikit agak rancu, seolah-olah antara ipar itu sudah menjadi seperti saudara kandung sendiri. Lalu pada prakteknya antar ipar dibolehkan berduaan, berboncengan atau berjalan bersama. Karena sudah dianggap kakak sendiri. Sedangkan dalam syariat Islam tidak ada istilah ‘dianggap’, karena biar bagaimana pun kakak ipar adalah laki-laki ajnabi (asing), yang pada kondisi telah bercerai dengan kakak sendiri, bolehlah dia menikahi mantan adik iparnya itu. Jadi antara kakak dan adik ipar bukanlah mahram dan tidak diperkenankan melihat sebagian auratnya.
2. Jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan seorang wanita. Jadi panjangnya adalah sepanjang tubuh wanita itu. Adapun model jilbab, bisa saja merupakan satu potong pakaian atau terdiri dari atasan, bawahan dan penutup kepala (kerudung). Istilah jilbab sering diartikan dengan kerudung, padahal pengertiannya jauh berbeda. Dalam terminologi bahasa arab dan juga Al-Quran, yang dimaksud dengan jilbab adalah pakaian yang lebar yang menutupi seluruh tubuh wanita.
3. Wanita yang sudah akil baligh memang tidak diperkenankan untuk keluar rumah lebih dari tiga hari kecuali ditemani oleh mahram atau suaminya. Larangan ini bersifat umum dan jelas berdasarkan sabda Rasulullah SAW : “Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya”. Para ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang:
I. Pendapat Pertama mengharuskan ada mahram secara mutlak. Seorang wanita yang sudah akil baligh tidak diperbolehkan bepergian lebih dari tiga hari kecuali ada suami atau mahram bersamanya. Hal itu sudah ditekankan oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu dalam sabda beliau. Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali bila ada mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya. Ada seorang yang berdiri dan bertanya,”Ya Rasulullah SAW, istriku bermaksud pergi haji padahal aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu. Rasulullah SAW bersabda,”Pergilah bersama istrimu untuk haji bersama istrimu”. Hr. Bukhari, Muslim dan Ahmad. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha`i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji. Kewajiban harus adanya mahram di atas adalah sebuah pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanafi dan para pendukungnya. Juga pendapat An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri, Ahmad dan Ishaq.
II. Pendapat Kedua tidak mengharuskan secara mutlak Seroang wanita boleh bepergian untuk haji asal ada mahram atau suami atau ada sejumlah wanita lain yang tsiqah (dipercaya). Ini adalah pendapat yang didukung oleh Imam Asy-Syafi`i ra. Bahkan dalam satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Bahkan dalam riwayat yang lain seorang wanita boleh pergi haji sendirian tanpa mahram asal kondisinya aman. Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan yang sunnah tidak berlaku hal tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Mekkah dalam keadaan aman. Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai Adi, bila umurmu panjang wanita di dalam haudaj (tenda di atas punuk unta) bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka`bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja.” (HR. Bukhari) Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para istri nabi pun pergi haji di masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. (HR. Bukhari). Ibnu Taymiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wanita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah. Karena itu bila memang tidak terlalu penting dan lengkap persyaratannya, sebaiknya para akhwat tidak diprogram dengan acara yang menginap, apalagi di luar kota. Kecuali dengan pertimbangan yang betul-betul matang sekali dan dengan alasan yang sangat kuat pada kasus tertentu.
Wallahu A`lam bis-Showab. Wassalamualaikum Wr. Wb. (Sumber : syariahonline.com)