Akhwatmuslimah.com– Diskusi adalah salah satu dari sekian banyak metode dakwah, karena ada segmen tertentu masyarakat yang hanya mau menyambut seruan dakwah dengan penjelasan yang argumentatif. Bahkan ada juga orang yang hanya akan turut jika sang da’i mampu mematahkan penentangannya melalui perdebatan.
Seorang da’i memiliki berbagai media yang dapat dipergunakan untuk menyebarkan dakwahnya di tengah masyarakat. Namun, hendaknya ia memahami bahwa media pertama dan utama yang harus didahulukan atas yang lain adalah “diskusi”. Mengapa demikian? Karena kata-kata yang baik dan tulus adalah senjata utama dan sebagai bekal dai dalam mengemban tugas mulia ini, baik ketika menawarkan –untuk pertama kali- dakwahnya kepada orang lain ataupun ketika membela diri dari tuduhan keji. Selain itu, diskusi juga merupakan media pokok untuk melakukan interaksi antar dai, utamanya tatkala ada perbedaan pendapat dalam memahami suatu permasalahan, memahami metodologi, maupun menentukan skala prioritas dakwah.
Terdapat banyak variabel yang menunjang keberhasilan suatu proses diskusi, meliputi situasi psikologis, momentum, suasana ruangan, kejelasan vokal pelaku diskusi, validitas argumentasi, dan yang mutlak harus ada pada diri sang da’i adalah akhlak yang mulia. Jadi, ada aspek moral yang harus diindahkan dan ada faktor skill yang harus dikuasai.
Dengan begitu, setelah orang tahu rambu-rambu yang boleh dan yang tidak boleh dalam diskusi, selebihnya aktivitas ini merupakan seni dalam berkomunikasi. Apalagi jika diingat bahwa yang terlibat di dalamnya adalah manusia yang sangat “tidak mekanis”. Yang dibutuhkan bukan sekedar sampainya pesan ke telinga audiens, tetapi bagaimana pesan itu sampai, dimengerti, dan diterima secara sadar. Dua aspek inilah (moral dan skill) yang perlu kita bahas.
Antara Diskusi dan Debat
Diskusi dan debat bertemu pada satu hal, bahwa keduanya sama-sama pembicaraan antara dua pihak. Akan tetapi, keduanya berbeda setelah itu.
Biasanya dalam perdebatan terjadi perseteruan, meski hanya sebatas perseteruan lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang diwarnai oleh fanatisme terhadap pendapat masing-masing pihak dengan merendahkan pendapat pihak lain.
Diskusi merupakan upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh kedua belah pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya.
Dalam Al Quran kita dapati beberapa keterangan yang menunjukkan perbedaan antara debat dengan diskusi ini. Al Quran menggunakan kata jidal (debat) untuk hal-hal yang tidak diridhai atau tidak membawa manfaat. Seperrti di Surat Al Mu’min ayat 5 dan Al Hajj ayat 8. Kata jidal dalam Al Quran terdapat di 29 tempat. Hampir kesemuanya dalam konteks pembicaraan yang tidak menghendaki munculnya debat dan tidak bermanfaatnya sebuah perdebatan.
Adapun kata hiwar (diskusi), terdapat dalam Al Quran hanya pada tiga tempat. Sebenarnya kata-kata yang semakna dengan hiwar itu, tersebut dalam Al Quran dibanyak tempat. Hanya saja tidak menggunakan kosakata hiwar itu sendiri, akan tetapi menggunakan kosakata “berkata” (qala). Ini disebutkan dalam Al Quran sebanyak 527 kali.
Al Quran dan Diskusi
Al Quran, melalui ayat-ayatnya, menaruh perhatian besar pada gaya percakapan dan diskusi. Ini sama sekali tidak mengherankan, karena diskusi merupakan cara terbaik untuk meyakinkan dan memberikaan kepuasan kepada hati objek dakwah.
Al Quran menyuguhkan kepada kita beberapa contoh diskusi. Ada percakapan Allah Swt dengan para malaikat tentang pencipataan Adam a.s (Al Baqarah: 30-32); antara Allah Swt dengan Ibrahim a.s tatkala ia memohon kepada-Nya agar memperlihtkan bagaimana Dia menghidupkan orang mati (Al Baqarah : 260); antara Allah Swt dengan Musa a.s, tatkala Musa memohon kepada-Nya agar diizinkan untuk memandang wajah-Nya (Al A’raf: 143); kisah Isa a.s tatkala ditanya Allah Swt, apakah ia menyuruh kaumnya untuk menjadikan diri dan ibunya sebagai dua Tuhan selain Allah Swt ( Al Maidah : 116); diskusi dalam kisah pemilik dua kebun (Al Kahfi : 18); diskusi dalam kisah Ibrahim a.s tatkala hendak menyembelih anaknya (Ash-Shafat: 102); kisah Qarun dengan kaumnya (Al-Qashash: 76); kisah daud a.s dengan dua orang yang sedang bertikai (Shad: 21); kisah Nuh a.s bersama kaumnya (Al A’raf: 143); kisah Syu’aib bersama kaumnya (Hud: 84), dan contoh-contoh lain yang dapat kita jumpai dalam Al Quran, semuanya menunjukkan bagaimana pentingnya diskusi.
ETIKA DISKUSI
1. Niat
Hendaknya seorang dai menahan diri untuk tidak berdiskusi, jika ia tidak yakin bahwa motivasinya karena Allah Swt semata. Hendaklah ia tidak mempunyai maksud untuk menunjukkan kepandaian dan keluasan wawasannya dalam setiap perbincangan; atau mengangkat dirinya atas orang lain dengan meremehkan lawan bicara; atau membanggakan diri untuk mendapatkan sanjungan. Semua itu dapat menhapus pahala amalny di sisi Allah Swt dan merusak citranya di mata masyarakat.
Diriwayatkan bahwa ada seorang anak yang bertanya kepada bapaknya, “Ayah, ananda melihat ayah melarang kami berdebat, padahal dahulu ayah pendebat ulung.” Sang bapak menjawab, “Wahai anakku, dahulu kami berdebat dengan perasaan was-was yang amat sangat kalau-kalau kami mengalahkan lawan bicara. Sedangkan kini, kalian berdebat dengan rasa cemas jangan-jangan tergelincir lantas dikalahkan oleh lawan bicara. “
Perlu ditegaskan bahwa pelaku diskusi harus berhenti, jika ia mendapati bahwa dirinya telah berubah dari tujuan semula; telah masuk ke dalam suasana permusuhan dan pertentangan. Sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya larangan yang pertama ditujukan kepadaku setelah penyembahan berhala adalah perdebatan (yang dibarengi dengan permusuhan)).. Rasulullah Saw bersabda, Sesungguhnya saya berikan jaminan dengan sebuah rumah di tengah-tengah surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan, padahal sesungguhnya ia adalah pihak yang benar. Juga sebuah rumah di sekitarnya bagi orang yang meninggalkan perdebatan, sementara ia berada di pihak yang salah.”
2. Situasi yang Kondusif
Seorang pelaku diskusi hendaklah melihat situasi sebelum berdiskusi; apakah cocok untuk melakukan diskusi atau tidak. Situasi yang melingkupi kita menyangkut tiga macam, yaitu tempat, waktu, dan manusianya. Ungkapan klasik menyatakan, “Tidak setiap yang diketahui itu harus diucapkan. Setiap posisi sosial memiliki kata-katanya sendiri.”
3. Ilmu
Janganlah memperbincangkan suatu tema yang engkau sendiri tidak mengerti dengan baik dan janganlah engkau membela suatu pemikiran manakala kamu tidak yakin dengan pemikiran tersebut. Bashirah (pengetahuan yang dalam) yang diisyaratkan dalam Al Quran berfungsi sebagai perlindungan bagi dai untuk tidak berbicara tanpa ilmu dan menahan dirinya dari usaha membantah argumentasi orang lain tanpa ia sendiri mempelajari tema pembicaraan.
Rasulullah Saw bersabda, “Janganlah kamu mencari ilmu untuk berbangga jadi ulama, merendahkan orang-orang bodoh, dan agar orang lain berpaling kepadamu. Barangsiapa melakukan untuk itu, ia di neraka” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
4. Manusia itu Beragam
Kemampuan otak manusia, tingkat pemahaman, dan keluasan wawasannya, sangat berbeda-beda. Argumentasi yang bisa dipahami oleh Zaid, belum tentu dapat dipahami oleh Amar. Pembicara yang baik adalah pembicara yang memahami dengan siapa ia berbicara, lalu ia dapat menentukan metode yang dianggap sesuai untuknya.
Salah satu cara untuk mengetahui tingkatan lawan bicara adalah dengan melontarkan pertanyaan netral kepadanya yang mengesankan adanya kesamaan pemikiran antara Anda, pembicara, dengannya. Dengan begitu, Anda dapat mengukur kedalaman pengetahuannya tanpa menyinggung perasaannya.
5. Jangan Mendominasi Pembicaraan
Pelaku diskusi atau pembicara secaara umum, tidak boleh mendominasi pembicaraan; yakni tidak memberikan kepada pihak lain peluang berbicara. Tetapi cegahlah ia berbicara yang bertele-tele, sehingga keluar dari konteksnya. Mendominasi pembicaraan sama halnya dengan serakah dalam urusan makan. Semua itu merupakan sikap tercela.
6. Mendengarkan dengan Baik
Pembicara yang baik adalah pendengar yang baik, karenanya jadilah pendengar yang baik. Janganlah engkau memotong pembicaraan orang lain. Sebaliknya, perhatikan ia sebagaimana engkau sendiri juga senang jika orang lain memperhatikanmu. Ketahuilah bahwa kebanyakan orang –sebenarnya- lebih menghormati pendengar yang baik daripada pembicara yang baik.
Kadang-kadang ada situasi tatkala engkau mendengarkan suatu pembicaraan, engkau melihat ada beberapa hal yang harus dievaluasi, dikomentari, diluruskan, atau diperjelas dari pembicaraan itu. Tentu saja sangat bermanfaat jika di tanganmu tersedia alat tulis dan kertas untuk membuat catatan. Jika giliranmu untuk berbicara tiba, engkau dapat menyampaikan catatanmu itu tanpa ada yang terlewatkaan. Sikap seperti ini jauh lebih utama daripada jika engkau memutuskan benang pikiran orang lain yang tengah diurai, yang akhirnya hanya merugikan dirimu sendiri.
7. Perhatikan Diri Sendiri
Ketika engkau tengah berbicara, perhatikanlah dirimu sendiri; apakah engkau berbicara terlalu keras? Ingatlah nasihat Lukman kepada puteranya, “Dan sederhanakanlah engkau dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”.
Perhatikanlah dirimu: apakah engkau merasa lebih berilmu? Apakah ‘perasaan lebih’ itu tampak pada raut muka, tutur kata, atau gerakan tanganmu? Jika engkau merasakannya, ubahlah segera caramu itu. Jika merasa ada yang salah, segeralah minta maaf. Janganlah engkau mengikuti emosimu, sehingga engkau mengubah diri dari seorang kawan diskusi menjadi seorang penceramah. Karena bisa saja dari mulut seseorang keluar kata-kata kasar, ungkapan pedas, kalimat yang mengesankan dirinya seorang guru, pemberi petuah, sok merasa besar, dan semisalnya yang dapat melahirkan dampak negatif bagi diskusi yang dilakukannya.
8. Kejelasan
Tegasnya ungkapan, fasihnya lisan, dan bagusnya penjelasan adalah sebagian dari pilar-pilar penopang diskusi dan dialog yang produktif.
Rasulullah Saw bersabda, ”Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh mejelisnya dariku pada hari kiamat adalah orang-orang yang berlebihan dalam berbicara, yang suka mengungguli orang lain dengan perkataannya, dan yang menunjuk-nunjukkan mulut besarnya dengan omongan untuk menampakkan kelebihan di hadapan orang lain.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Suatu isyarat yang tepat bisa lebih berguna dari uraian dan penjelasan panjang lebar. Tindakan ini sekaligus berguna untuk mengoreksi kesalahan yang diperbuat orang lain tanpa membuat mereka tersinggung. Itulah yang pernah dilakukan oleh dua cucu Rasulullah Saw, Hasan dan Husain, ketika melihat seseorang yang kurang benar dalam berwudhu. Sementara rasa malu kepada orang itu menghalangi mereka untuk mengingatkannya secara terus terang. Keduannya (Hasan dan Husein) pun bermusyawarah, lalu bersepakat mendatanginya dan meminta kepadanya untuk menilai mereka berdua, mana yang lebih benar wudhunya. Orang itu lalu melihat secara cermat dan menilai wudhunya Hasan dan Husein. Setelah itu, sadarlah dia bahwa selama ini ia tidak bisa berwudhu dengan baik seperti wudhunya Hasan dan Husein. Inilah yang dimaksud dengan bayan (kejelasan).
9. Penggunaan Ilustrasi
Pelaku diskusi yang cerdik adalah mereka yang pandai membuat ilustrasi guna melengkapi dan memperjelas setiap uraian pembicaraannya. Imam Ghazali pernah membuat ilustrasi untuk orang yang mencegah kemungkaran dengan kekerasan. Mereka seperti orang yang ingin menghilangkan bercak darah dengan air kencing. Cara mencegah kemungkaran seperti itu adalah bentuk kemungkaran yang lain, bahkan bobot kemungkarannya lebih besar daripada kemungkaran yang diberantas. Kedua-duanya sama-sama najis, tetapi najisnya air kencing lebih berat.
10. Memperhatikan Titik-Titik Persamaan
Ketika seorang dai berbicara, hendaklah ia memulai pembicaraan dengan mengungkap titik-titik persamaan yang ada. Hal-hal yang asiomatik.
Dale Carnagie mengatakan, “Buatlah lawan bicaramu sepakat ataas contoh-contoh yang engkau lontarkan kepadanya dan biarkan ia menjawab dengan kata ‘ya’. Jauhkanlah –sebisa mungkin- antara dia dengan kata ‘tidak’. Karena kata ‘tidak’ merupakan rintangan yang sulit diatasi daan sulit dikalahkan. Seseorang yang telah berkata ‘tidak’, kesombongan akan memaksanya untuk senantiasa membela diri. Kata ‘tidak’ itu sebenarnya lebih dari sekedar kata yang terdiri dari beberapa huruf. Ketika seseorang berkata ‘tidak’, maka urat saraf dan emosinya terangsang untuk mendukung sikap penolakannya. Berbeda dengan kaata ‘ya’, yang sama sekali tidak membebani gerak jasmani.”
Dikisahkan, bahwa Socrates, seorang ahli hikmah dan filosof Yunani yang terkenal, juga mengikuti cara ini. Ia memulai diskusinya dengan orang lain dari titik-titik persamaan di antara mereka berdua. Ia bertanya kepada lawan bicaranya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban, kecuali kata ‘ya’. Demikianlah Socraates terus mendapatkan jawaban ‘ya’ secara beruntun, sehingga lawan bicara menyadari bahwa dirinya telah menyetujui suatu ide yang beberapa saat sebelumnya ditolaknya mentah-mentah.
11. Saya Tidak Tahu
Apabila lawan diskusimu mengemukakan sesuatu pembicaraan yang engkau tidak memahaminya, janganlah engkau malu untuk bertanya dan meminta penjelasan. Karena apabila engkau diam, engkau akan rugi, akan dikatakan sebagai orang bodoh atau orang yang berusaha menutupi kebodohannya. Ketahuilah bahwa banyak pemimpin besar umat yang tidak malu mengatakan, “Saya tidak tahu!” Ia menjauh dari berfatwa tanpa pengetahuan yang cukup tentang masalah yang difatwakan.
12. Tidak Fanatik dan Mengakui Kesalahan
Sikap fanatik dalah sikap tetap tidak menerima kebenaran setelah adanya kejelasan dalil. Seorang muslim adalah pencari kebenaran. Ia tidak fanatik kepada individu, kelompok, atau paham tertentu. Berpijaklah di atas kebenaran di manapun kebenaran itu berada.
Mengakui kesalahan –setelah tidak mengakuinya di awal pembicaraan- dapat menarik simpati dan penghargaan dari lawan bicara. Berbeda halnya jika ia bergeming dengan kesalahannya, hal ini bisa menghilangkan rasa hormat dari orang lain, juga dari dirinya sendiri.
13. Jujur dan Kembali ke Sumber Rujukan
Hormatilah kebenaran. Jadilah orang yang jujur ketika menyampaikannya. Janganlah engkau memotong ungkapan, sehingga mengubah konteksnya atau mencabut daari relevansinya dengan memberikan penafsiran sesuai dengan keinginanmu. Di antara cara menghormati kebenaran adalah engkau tidak berargumentasi dengan mengutip pendapat orang yang tidak bisa dipercaya ilmu dan kejujurannya.
14. Menghormati Pihak Lain
Umar bin Khattab r.a berkata, Jangan sekali-kali engkau berprasangka terhaadap kata-kata saudaramu seiman selain dengan kebaikan, selama engkau dapati pada kata-kata itu peluang kepada kebaikan.
Diantara wasiat Rasululah Saw adalah, Seorang muslim adalam saudara bagi muslim (yang lain). Karenanya ia tidak menzhalimi, tidak meninggalkan, tidak merendahkan, dan tidak menghinakan. Cukuplah seseorang disebut buruk lantaran merendahkan saudara muslim yang lain.
15. Pemikiran dan Pemiliknya
Dalam suatu diskusi, sebaiknya yang dibahas, dianalisis, dikritik, dan disanggah adalah pemikirannya, bukan pemilik pemikiran itu. Hal itu untuk menghindari berubahnya forum diskusi menjadi forum percekcokan yang disertai dengan caci maki atau berubah dari forum diskusi pemikiran menjadi forum perseteruan fisik oleh individu-individu yang ada.
16. Yang Lebih Baik
“Berdebat dengan cara yang baik” itu artinya engkau tidak bersikap apriori terhadap pendapat lawan bicaramu dan menunjukkan penghargaan kepadanya, meskipun pendapat itu barangkali bertentangan dengan pikiranmu.
17. Menyerang dan Mematahkan
Metode menyerang dalam berdiskusi, meskipun dengan argumentasi yang kuat dan dalil yang nyata, dapat menimbulkan kebencian bagi orang lain. Hal itu karena mendapatkan simpati hati, sebenarnya lebih penting daripada mendapatkan perubahan sikap tetapi tidak berangkat dari hati yang tulus. Adapun jika engkau bersikap lemah lembut, ia akan merasa puas dengan pendapatmu, cepat atau lambat.
18. Perbedaan Pendapat dan Kasih Sayang
Perbedaan pendapat, sampai pun antarkawan dan sahabat, sering sampai menghapuskan rasa cinta dan kasih sayang. Waspadalah untuk tidak jatuh ke dalamnya. Perdebatan atau perbincangan, atau diskusi pada umumnya berpengaruh terhadap perasaan dan hati. Ingatlah hal ini tatkala engkau tengah berbicara dengan seseorang. Janganlah engkau tunjukkan sikap permusuhan kepada seseorang.
19. Jangan Marah
Jika lawan bicaramu tidak setuju dengan pendapatmu, jangan terburu marah. Janganlah engkau coba memaksakan semua orang untuk mengiyakan apa yang engkau anggap benar.
20. Ketika Logika Tak Lagi Berarti
Kadang-kadang, ketika engkau memulai diskusi, rasa permusuhan telah menguasai salah satu dari kedua belah pihak. Dalam keadaan demikian, apabila pihak yang menghadapinya dengan sikap yang baik, niscaya permusuhan itu akan berubah menjadi persahabatan dan kebencian berubah menjadi kasih sayang. Nasihat ini berguna bagi para orang tua yang suka mencela, para suami yang cerewet, para guru yang berhati batu, dan para pemimpin yang tengah marah.
21. Jangan Menggunakan Kata Ganti Orang Pertama
Sebaiknya seorang dai tidak menggunakan kata ganti orang pertama dalam berbicara, seperti “Saya telah berbuat demikian”, atau “Saya senang menjelaskan masalah ini” atau ‘Pendapatku dalam masalah ini adalah demikian.” Sebaiknya pula ia menjauhi penggunaan kata ganti orang pertama jamak. Misalnya, “Pengalaman kami membuktikan yang demikian. Apabila kami mempelajari masalah yang diperselisihkan, tampak bagi kami hal-hal berikut ini.”
Mengapa semua itu harus dihindari? Karena apabila hal itu digunakan ketika berbicara, dikhawatirkan dapat menyeret pembicara –baik disadari maupun tidak- kepada sikap memuji diri sendiri dan menonjol-nonjolkan pengalaman dan keluasan wawasannya. Ini berarti kejatuhan di awal langkah yang dapat merusak niat.
Sebagai gantinya, berbicaralah dengan menggunakan pola ungkapan yang tidak langsung menisbatkan pengetahuan kepada pembicara dan yang menimbulkan kesan objektif, seperti, “Agaknya para peneliti telah membuktikan adanya…” atau “Pengalaman para pakar di lapangan dakwah menunjukkan akan kebenaran orang yang mengatakan…,” atau “Seorang dai yang telah malang melintang di dunia dakwah memberi komentar terhadap masalah yang kita hadapi…dan patut kita mengambil pelajaran darinya.”
22. Jangan Keraskan Suaramu
Orang yang tengah berdialog sebaiknya tidak mengeraskan suaranya lebih dari yang dibutuhkan oleh pendengar, karena suaraa yang keras itu jelek dan menyakitkan. Pelaku dialog bukanlah seorang orator yang terkadang –pada saat-saat tertentu- dituntut harus mengeraskan suaranya. Perlu diingatkan pula, bahwa kerasnya suara sama sekali tidak dapat menguatkan suatu argumentasi.
Dalam banyak kasus, orang yang suaranya keras, sedikit kandungan ilmunya, lemah argumentasinya, dan sering pula mengeraskan suaranya justru untuk menutupi kelemahannya. Berbeda dengan pemilik suara yang tenang. Suara tenang itu biasanya merefleksikan kematangan berfikir, kekuatan argumentasi dan objektivitas pendirian. Suara yang tenang, yang tidak dibumbui dengan teriakan dan tidak juga bisikan, adalah suara yang paling kuat pengaruhnya dalam hati, disebabkan keagungan suara itu dan ketenangan pemiliknya. (ANW)
Sumber : Kitab “Etika Diskusi”, WAMY (World Assembly Moslem Youth)